MOVIE REVIEW: Kung Fu Panda 3, Jati Diri Sejati Po
Po si panda harus meningkatkan ilmu kung fu sekaligus mengenal asal muasalnya.
Muvila.com – Selain jadi salah satu studio animasi terdepan Hollywood, serta kerap memakai bintang Hollywood terkenal untuk mengisi suara film-filmnya, DreamWorks Animation juga dikenal sebagai studio yang tak malu-malu berusaha menciptakan franchise. Tak mengherankan lagi bila DreamWorks gemar membuat sekuel atau spin-off, apalagi dari film-film yang sukses di pasaran, sebut saja Shrek, Madagascar, dan How to Train Your Dragon. Kadang hasil kelanjutan dari franchise tersebut menggembirakan dari segi box office, tetapi tak jarang hasilnya kurang memuaskan dari segi cerita.
Kung Fu Panda termasuk dalam franchise milik DreamWorks yang 'beruntung', karena sekuel pertamanya, Kung Fu Panda 2 (2011) masih meneruskan kesuksesan film Kung Fu Panda
(2008). Sambutan terhadap kedua film tersebut termasuk positif, baik
dari raihan box office yang sama-sama tinggi, maupun kualitas kontennya.
Salah satunya dibuktikan oleh fakta bahwa keduanya masuk nominasi Best
Animated Feature Film di Piala Oscar. Tentu saja, karena ini DreamWorks,
kesuksesan itu perlu dilanjutkan dengan sekuel lagi.
Namun, mungkin sedikit prematur untuk
menganggap Kung Fu Panda 3 hanyalah sebuah usaha untuk mengeruk kantong
konsumen—terutama para orang tua yang bersedia menuruti keinginan
anak-anaknya untuk nonton film ini di bioskop dan membeli
merchandise-nya. Bila diperhatikan, para kreator film ini berhasil
memanfaatkan potensi cerita dan karakternya yang memang cukup layak
untuk diteruskan hingga film ketiga. Potensi yang paling utama tentu
saja adalah tentang jati diri Po, panda jago makan yang belakangan juga
jago kung fu.
Bila diingat kembali, unsur pencarian
identitas memang jadi benang merah tema sejak Kung Fu Panda pertama,
namun tema itu digali setahap demi setahap. Film Kung Fu Panda pertama
memperkenalkan dunia persilatan Tiongkok kuno yang dihuni para hewan
berperadaban seperti manusia. Plotnya lebih kepada pembuktian bahwa Po
(diisi suara Jack Black) adalah sang Pendekar Naga, yang diramalkan akan
menyelamatkan Tiongkok dari kekuatan jahat, sekalipun saat itu ia hanya
anak pedagang mi yang tak punya kemampuan bela diri sama sekali.
Di film itu, kenyataan bahwa Po seekor
panda dengan ayah seekor angsa (Mr. Ping, diisi suara James Hong) seakan
jadi lelucon tersembunyi, apalagi digambarkan Po merasa bahwa itu hal
normal saja. Pada akhirnya poin tersebut memang tidak menimbulkan
pertanyaan terlalu besar, karena perhatian lebih tertuju pada akan jadi
apa Po di masa depan. 'Keanehan' identitas masa lalu Po baru mulai
dikupas di Kung Fu Panda 2, dan terungkap bahwa benar Po adalah anak
angkat, dan kemungkinan ia adalah panda satu-satunya yang tersisa.
Kung Fu Panda 3 bisa dikatakan sebagai
puncak dari dua perjalanan Po: menggali jati diri masa lalu, dan
memenuhi jati diri masa depannya. Suatu ketika Po disuruh oleh sang
guru, Shifu (Dustin Hoffman) untuk mulai mengajar kung fu di perguruan
sebagai tahapan untuk meningkatkan ilmunya, sesuatu yang dijalankan Po
dengan kewalahan karena ia masih belum meninggalkan sifat
kekanak-kanakannya. Sementara itu, Po juga kedatangan Li (Bryan
Cranston), seekor panda yang mengaku sebagai ayah kandungnya, dan hendak
mengajaknya pulang ke desa panda yang keberadaannya dirahasiakan.
Di saat bersamaan, dunia persilatan
terancam oleh kedatangan Kai (J.K. Simmons), pendekar yak—semacam sapi
gunung—dari dunia arwah yang hendak mengambil kesaktian para pendekar,
terutama sang Pendekar Naga. Kehadiran Kai menjadi penggerak plot film
ini, sehingga unsur pertarungannya yang menjadi ciri khas film silat dan
juga franchise Kung Fu Panda tetap terjaga, juga meningkatkan nilai
hiburannya.
Hanya saja, fungsi Kai di sini tak lebih
dari itu, kalah pamor dengan pencarian jati diri Po dan discovery-nya
terhadap kehidupan sesama panda. Kurang terlibatnya sosok musuh dalam
tema ceritanya menjadi salah satu kelemahan Kung Fu Panda 3. Padahal,
Kai mungkin musuh tersakti yang pernah muncul di franchise Kung Fu Panda
Selain itu, Kung Fu Panda 3 memang secara
keseluruhan terlihat paling ringan di antara tiga film yang sudah ada.
Ini bisa dilihat dari gaya penuturan yang serba cepat, tata laga yang
seru dan kreatif, dan berbagai macam lawakan yang muncul hampir di semua
tempat—yang sayangnya tidak semuanya terasa segar karena mungkin tak
lagi mengejutkan di filmnya yang ketiga. Di satu sisi, hal ini berhasil
membuat film ini dapat dinikmati dengan santai tanpa harus dijejali
dengan pemikiran-pemikiran berat.
Di sisi lain, film ini mengandung kisah
Po yang harus membuktikan ia pantas disebut Pendekar Naga, melindungi
tempat kelahiran yang baru ia kenal, juga pilihan di antara ayah kandung
atau ayah angkat yang membesarkannya. Tema-tema ini sangat berpotensi
membuat Kung Fu Panda 3 lebih emosional dari, misalnya, Kung Fu Panda
pertama yang berkutat pada keyakinan tentang apa yang bisa dan tidak
bisa dilakukan seseorang. Hanya saja, pembawaan sebagian besar film yang
sangat ceria agak menutupi potensi itu, sehingga film ini tidak
semeyentuh yang diharapkan.
Terlepas dari itu, Kung Fu Panda tetap
sebuah film yang pantas disandingkan dengan dua film sebelumnya,
terutama dari nilai hiburannya yang masih mumpuni. Tampilan gambar dan
animasi indah yang disokong oleh tata suara dan tata musik apik membuat
film ini begitu nikmat untuk ditonton segala usia. Karakter-karakter
lamanya masih tetap lovable, sementara karakter-karakter barunya cukup
cepat untuk diakrabi. Masih ada nilai-nilai inspiratif yang bisa diambil
seperti pendahulunya, membuat film yang jelas-jelas komedi ini tak cuma
sambil lalu tanpa makna. Lagipula, apa yang lebih menggemaskan dari
pada melihat puluhan panda gemuk berbagai ukuran bertingkah polah konyol
sekaligus?
sumber : muvila
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar