Review Film: 'A Monster Calls' (2016) oleh TEGUH RASPATI

Diposting oleh Unknown on Senin, 27 Februari 2017

Review Film: 'A Monster Calls' (2016)



Merupakan gabungan antara fantasi imajinatif dengan drama keluarga, 'A Monster Calls' menyuguhkan ceritanya melalui melodrama yang bagi saya kelewat pretensius.

“People don't like what they don't understand.”
— Mum
Ini bukan pertama kalinya kita menyaksikan seorang anak yang melarikan diri dari realita menuju dunia fantasi. A Monster Calls tak jauh berbeda dengan film seperti Where the Wild Things Are atau Pan's Labyrinth. Namun film ini tak menyuguhkan ceritanya dengan sense of wonder atau atmosfer horor sembari tetap membumi dengan sentimentalitasnya, melainkan melalui melodrama yang bagi saya kelewat pretensius, faktor yang membuat saya kesulitan untuk menggapai bobot emosionalnya. 

Film ini menceritakan kisah anak bernama Conor (Lewis MacDougall, pendatang baru yang tampil luar biasa) dan teman imajinernya, Sang Monster; well, kita tak tahu pasti apakah monster yang dimaksud hanya imajinasi atau benar-benar ada. Film ini tak pernah memaparkannya dengan gamblang. Film ini hampir sepenuhnya mengambil sudut pandang Conor. Dan bagi Conor, monster ini koeksis dengan kehidupannya di dunia nyata. Ia percaya, begitu pula seharusnya kita. 


Sang monster dibuat melalui teknologi CGI dengan efek spesial yang meyakinkan. Tampilannya mendetil dan cukup menakutkan. Ia adalah raksasa pohon dengan akar dan cabang yang membentuk kaki dan tangan serta punya mata yang bisa menyala sewaktu-waktu. Tepat sekali menggunakan suara bass Liam Neeson yang terdengar sedikit-mengancam-namun-hangat untuk menghidupkan karakternya. Monster ini tak hug-able, karena kehadirannya bukan untuk dipeluk atau menenangkan Conor. 

Conor sebenarnya benar-benar membutuhkan hal tersebut. Ibunya (Felicity Jones, untuk ukuran karakter yang nyaris satu dimensi, akting subtilnya patut dipuji) menderita sakit keras dan harus menjalani perawatan intensif. Sementara itu, sang ayah (Toby Kebbell) sudah tinggal bersama keluarga baru. Di sekolah, Conor menjadi bahan bully-an. Ia tak punya siapa-siapa lagi, selain neneknya (Sigourney Weaver) yang terlalu mengatur (khas nenek-nenek lah). Hal terakhir yang diinginkannya adalah seorang raksasa pohon yang menggedor jendela rumahnya dengan tujuan —tak lain tak bukan— untuk menceritakan 3 kisah setiap malam. Atau mungkin memang ini yang ia butuhkan? 

Monster ini tak bisa dibilang sebagai sahabat Conor. Hubungan mereka jauh dari kata akrab. Sama seperti kita, Conor pun mempertanyakan apa pentingnya 3 kisah ini dibanding ibunya. Sang monster yang selalu datang pada jam 12.07 ini malah memaksanya mendengar, dan sebagai imbalan, Conor pun nanti akan menceritakan kisah keempat. Isi dan makna cerita yang pada dasarnya cliche fairytale with a twist ini, silakan anda temukan sendiri. Sementara narasi dunia nyata ditangkap dengan palet warna suram oleh sinematografer Oscar Faura, tiga kisah dari raksasa digambarkan dengan animasi gabungan stop-motion dan cat air dengan bantuan sutradara animasi Adrian Garcia. Meski demikian, tone keduanya ngeklik dan visualisasinya sama-sama mengagumkan. 

Plot filmnya relatif sederhana namun disajikan dengan ambiguitas yang penuh dengan alegori dan metafora yang mungkin akan mengernyitkan dahi sebagian penikmat film kasual. Paruh pertama terkesan tak fokus, yang dimaksudkan untuk menggambarkan situasi Conor, termasuk kemunculan sekilas Kebbell yang sudah lama tak saya lihat bermain sebagai pria baik-baik. Momennya menyentuh, namun terasa tak menyatu dengan film secara keseluruhan. Film ini sepertinya hanya punya 2 tujuan: (1) menyajikan visual yang impresif, (2) menohok penonton dengan ending yang powerful. Yang terakhir, didapat bukan gara-gara kulminasi melainkan karena akting yang sangat kuat dari MacDougall dan Jones serta framing yang tepat dari sutradara J.A. Bayona

A Monster Calls mungkin terlihat sebagai proyek personal dari Bayona sebelum mengarahkan sekuel Jurassic World nanti, namun filmnya punya visi yang ambisius. Berbalut kisah fantasi, film ini memiliki tema berat (dan cenderung depresif) mengenai realita kehidupan dan pendewasaan. Bayona seperti menggabungkan dua elemen kuat dari dua filmnya yang lalu: atmosfer gothic dari The Orphanage dan drama emosional manipulatif dari The Impossible. Tak seperti film terakhir, manipulasi A Monster Calls seringkali dipanjang-panjangkan untuk memeras air mata. Kehidupan Conor tak beresonansi dengan saya, sehingga secara pribadi, filmnya terasa hampa. Film yang elegan dengan karakterisasi yang tak riil. 

Saya cukup penasaran mengenai sasaran penontonnya. Novelnya yang ditulis oleh Patrick Ness (yang juga bertindak sebagai penulis naskah film) dikategorikan sebagai buku anak-anak. Pesan moral film ini memang lebih lebih cocok untuk anak-anak, namun mereka takkan mengerti sepenuhnya. Yang lebih tepat mungkin adalah mantan anak-anak yang sudah pernah melewati tragedi seperti Conor. Hal yang sudah lewat terkadang memang menjadi memori sentimental yang membuat tenggorokan tercekat. ■UP 

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

'A Monster Calls' | 
 | 

IMDb | Rottentomatoes
108 menit | Remaja

Sutradara J.A. Bayona
Penulis Patrick Ness
Pemain Lewis MacDougal, Felicity Jones, Sigourney Weaver

sumber : http://www.ulasanpilem.com/2016/10/review-monster-calls-2016.html

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar