Review Film: 'Get Out' (2017)

Diposting oleh Unknown on Sabtu, 15 April 2017

Review Film: 'Get Out' (2017)

Menemui calon mertua memang selalu menegangkan, tapi belum pernah sampai mengancam nyawa seperti yang dialami Chris.

“Man, I told you not to go in that house.”
— Rod
Apa yang lebih menyeramkan daripada bertemu dengan calon mertua untuk pertama kalinya? Berkulit hitam, tinggal di Amerika, lalu bertemu calon mertua untuk pertama kalinya, dan mereka berkulit putih! Anehnya, calon mertua ini menyambut Chris (Daniel Kaluuya) dengan senyuman dan pelukan yang sangat hangat. Saya tak mau terdengar sebagai orang yang anti-antirasis, namun sambutan mereka memang sedemikian ramah hingga terlihat mencurigakan. Apa yang sebenarnya terjadi disini?


Itu adalah pertanyaan yang berkali-kali terlontar saat saya menonton Get Out, film horor-satir dari sutradara debutan Jordan Peele yang sebelumnya lebih populer sebagai komedian. Film ini bisa menjadi parodi karena ia menggunakan beberapa tradisi klise dari film horor, namun ia juga ditangani dengan serius layaknya film horor sungguhan. Di beberapa waktu film ini akan memancing gelak tawa tapi ia tak berhenti mencengkeram kita dengan misterinya.

Meski demikian, saya pikir kekuatan utama dari film ini adalah perspektif sosial yang menjadi subteksnya — sebelum kemudian menjadi blak-blakan di momen puncak yang over-the-top. Peele yang juga menulis naskah menciptakan ketegangan berdasarkan prasangka rasialis alih-alih trik horor konvensional. Ia masih menggunakan trik-trik standar tersebut, namun kita dibuat tak nyaman lebih karena kita tahu bahwa Chris more or less merasa ia tak selayaknya berada di lingkungan kulit putih tersebut. Karena perbedaan kultur dengan kita, film ini mungkin lebih efektif bagi penonton Amerika yang saat ini tengah hangat-hangatnya mengangkat isu rasisme.

"Apa mereka tahu kalau aku berkulit hitam?" tanya Chris kepada pacarnya Rose (Allison Williams). Rose belum memberitahu mereka tapi ia yakin bahwa orangtuanya akan menerima sebagaimana ia menerima Chris apa adanya. Chris waswas, apalagi sobatnya, Rob (Lil Rel Howery) sudah memperingatkannya. Namun Rose begitu mempesona, begitu perhatian, bahkan berani membela Chris yang menjadi sasaran prasangka dari seorang polisi, sehingga Chris setuju pergi ke rumah mereka yang terpencil.

Orangtua Rose, Dean (Bradley Whitford) dan Missy (Catherine Keener) ternyata adalah warga kelas atas yang berpikiran sangat terbuka, hingga katanya mereka mau menyumbang suara bagi Obama untuk ketiga kalinya jika bisa. Well, itu lumayan melegakan, kalau saja Dean tak menekankan poin bagaimana ia dan keluarga sebagai antirasis, berkali-kali. Dean bekerja sebagai dokter spesialis syaraf sedangkan Missy adalah pakar hipnoterapi, dan saya tidak menulis kalimat ini untuk memanjangkan paragraf. Detil ini penting.

Yang lebih mencurigakan adalah dua pembantu rumah tangga mereka yang berkulit hitam: tukang bersih-bersih Georgina (Betty Gabriel) dan tukang kebun Walter (Marcus Henderson). Senyuman mereka canggung, bahasa mereka sopan, gestur mereka seperti bangsawan, dan apa itu yang mereka lakukan di malam buta? Belum lagi adik Rose (Caleb Landry Jones) yang terobsesi dengan kekuatan fisik Chris. Sialnya, sebentar lagi akan berlangsung gathering dengan para tetangga yang digambarkan Rose sebagai orang-orang kaya yang "so white". Mereka juga sangat ramah terhadap Chris, tapi ini justru membuat Chris semakin tak nyaman.

Kaluuya (yang namanya baru saya dengar, btw) tampil kuat sebagai pemuda biasa yang simpatik, yang otomatis memposisikan kita di sisi Chris. Ia boleh dibilang tegang sepanjang film, begitupun kita. Dan ini adalah kunci kesuksesan filmnya mencengkeram kita: kita tahu ada yang tak beres saat kita tahu kita don't belong tapi orang-orang di sekitar malah bersikap sangat sangat sangat akrab. Mereka tak melakukan hal yang berbahaya tapi gerak-geriknya janggal, yang membuat Chris permisif dan waspada di saat bersamaan. Chemistry Kaluuya dengan Williams meyakinkan, kita percaya Rose benar-benar mendengarkan setiap keluhan Chris dan ingin berbuat sesuatu.

Pacing-nya yang pelan membuat Get Out terasa lebih lama daripada durasi sebenarnya, namun saat momentumnya terseok, Peele menginjeksi beberapa sentakan untuk membuat kita tetap penasaran. Pengungkapan besarnya tak begitu mengejutkan memang, tapi Peele menjaga agar kita tetap terikat dengan filmnya dan menebak-nebak apa yang akan terjadi berikutnya. Meski demikian, momen klimaks yang intens mungkin tak seseram yang ia maksudkan. 'Get Out' works best when it's all about suspense.

Sebagai film pertamanya, Peele menunjukkan gaya visual yang boleh juga. Adegan pembuka yang disorot dengan one-shot dan steadicam, menetapkan nuansa film dengan baik. Peele tampaknya sadar dengan gerakan kamera dan detil set untuk pembangunan atmosfer. Ia juga mampu melakukan tiki-taka antara komedi dengan misteri dengan mulus, sehingga tak terjadi kesenjangan tone. Karakter Rob yang sedikit lebay dengan persepsi bahwa yang dialami Chris adalah "brainwashing sex-slave conspiracy s**t" bukan menjadi sekedar comic relief semata.

Well, entahlah. Saya tak mendapati film ini tak seluar biasa hype-nya (khususnya karena paruh akhir), namun memang pembangunan atmosfernya cukup efektif. Lewat film ini, keterampilan Peele menggarap momen menyeramkan cukup menjanjikan. Filmnya sukses menjadi sebuah film horor yang menyeramkan sekaligus lucu tanpa menjadi film komedi olok-olok. Saya rasa sebuah keberhasilan ketika sebuah film mencoba menggabungkan genre yang kontras dan mampu melakukannya di akhir.
sumber : http://www.ulasanpilem.com/2017/04/review-get-out.html

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar