REVIEW TRAIN TO BUSAN

Diposting oleh Unknown on Rabu, 26 Oktober 2016

Review Film TRAIN TO BUSAN

train-to-busan-poster4

Sudah pingin dari kemaren sih ngereview tapi baru bisa hari ini ditulis. So, cekidot…
Jadi sebenarnya film ini sudah rilis dari bulan Juli 2016 kemarin di Korea Selatan sana, tapi di Indonesia baru tayang mulai tanggal 31 Agustus 2016, maka dari itu aku baru nonton baru-baru ini. Kemarin aku nontonnya di bioskop, tapi sekarang sudah ada kok free download-annya di situs-situs tertentu, so buat kamu yang belum nonton, bisa langsung cari di mbah google. Hehe.
Well, jadi Train to Busan ini adalah film garapan sutradara Yeon Sang Ho yang bergenre horor thriller dengan konsep zombie apocalypse. Sebenarnya karena konsep zombie ini makanya aku tertarik dan berburu filmnya untuk ditonton. Mungkin sebelum ini juga pernah ada film Korea dengan tema zombie, tapi ini pertama kalinya aku nonton film Korea dengan tema begini. Sendirinya aku bukan peminat film-film dengan konsep zombie sih, film-film barat pasti sudah banyak film-film ternama dengan konsep-konsep zombie, semacam Walking Dead atau Warm Bodies, dan jujur, aku benar-benar ga tertarik  dengan mereka. Tapi, entah kenapa begitu lihat trailer Train to Busan, aku pingin banget nonton. Mungkin karena film-film Korea yang selama ini kutonton ga pernah bertema begini.
train-to-busan-images-611025-590x330
So, cerita dimulai dengan semua mobil yang melewati pertambangan nuklir yang sedang disterilisasi karena dugaan kebocoran. Setelah melewati kawasan pertambangan itu, mobil tadi menabrak seekor rusa. Karena dikira sudah mati, supir mobil itu meninggalkan begitu saja rusa yang ditabrak tadi. Setelah mobil pergi, rusa tiba-tiba hidup kembali. Dari situlah terduga jika rusa itu terinfeksi suatu virus yang mungkin disebabkan oleh kebocoran di pertambangan nuklir tadi.
Konflik cerita ini dimulai ketika Seok Woo (diperankan oleh Gong Yoo), seorang manager pengelola dana, yang mau tidak mau mengabulkan permintaan anak perempuannya, Soo An (diperankan oleh Kim Su An), untuk pergi menemui ibunya (mantan istri Seok Woo) di Busan, sebagai hadiah ulang tahun anak perempuannya itu. Mereka naik KTX (Korean Train Express) menuju Busan.
Begitu kereta akan berangkat, tiba-tiba seorang gadis masuk tergopoh-gopoh tanpa diketahui petugas pintu gerbong kereta. Ada bekas luka gigitan di kaki gadis itu. Setelah di dalam kereta tiba-tiba gadis itu kejang-kejang dan pingsan sesaat, membuat petugas kereta api panik. Tapi belum sempat memberi bantuan, gadis itu malah bangkit kembali menjadi zombie dan menggigit leher petugas kereta api dengan ganas. Selanjutnya, satu persatu penumpang kereta api digigit dan menjadi zombie, membuat suasana menjadi panik dan perjalanan menuju Busan menjadi sangat tidak lancar.
train-to-busan-trailer-001
Selain Gong Yoo, pemain-pemain film yang memang sudah tenar juga berperan di sini, mereka adalah  Ma Dong Seok (berperan sebagai Sang Hwa) dan Jung Yumi (berperan sebagai Sung Kyung, istri Sang Hwa), sepasang suami istri yang berlovey dovey tapi terkadang suka keki-kekian juga karena istrinya masih sensitif dengan kandungannya, yang berada di gerbong yang sama dengan Seok Woo dan anaknya tadi. Lalu, ada Choi Woo Shik (berperan sebagai Young Guk), yang berperan sebagai pemain baseball, dan kekasihnya yang diperankan oleh Ahn Sohee mantan girl grup Wonder Girls (berperan sebagai Jin Hee). Kim Eui Sung berperan sebagai Yong Suk (Ini bapaknya Hyo Joo di drama W, haha). Mereka inilah yang sama-sama berjuang melawan zombie- zombie yang ada di kereta api.
tolo6
Setelah menonton, aku bisa kasih nilai 9 untuk alur ceritanya, karena memang filmnya wah dan sangat memukau. Suer, sutradaranya sukses bikin aku cemas, panik, dan takut secara bersamaan waktu menonton. Genre horror thriller yang bercampur action benar-benar terasa.
Kalau menurutku, memang cerita film ini lebih fokus dengan bagaimana cara karakter bertahan dari serangan para zombie ketimbang memecahkan atau mencari tahu penyebab tiba-tiba datangnya zombie. Sebenarnya dijelasin sih mengapa tiba-tiba bisa ada zombie, tapi ya itu, pak sutradaranya cuma sedikit menjelaskan kemunculan zombie dan penyebabnya. Muncul tadi ditandai dengan rusa yang kembali hidup dan penyebabnya juga karena kebocoran gas dari sebuah perusahaan biokimia. Di menjelang akhir cerita juga dijelaskan secara singkat kalau ternyata perusahaan biokimia itu adalah proyek yang di danai oleh Seok Woo.
trana4
Dan yang lainnya yang membuat berkesan dari film ini adalah plot twistnya. Begitu awal menonton kamu pasti sudah mengira-ngira siapa saja yang karakter akan mati dan siapa saja karakter yang selamat di akhir cerita, atau bahkan kamu juga bakal berharap karakter yang kamu sukai selamat dari para serangan zombie-zombie itu (ini gue banget). Tapi, aku sarankan dari pada mengira-ngira lebih baik kamu ikuti saja jalan ceritanya karena di akhir kamu bakal nyesel begitu yang kamu harapkan tidak akan menjadi kenyataan. Benar-benar tidak bisa kita sangka-sangka siapa yang akan selamat di sini.
Lalu, seperti kebanyakan film korea lainnya, film ini juga endingnya ngegantung gitu. Orang sih nyebutnya open ended. Cuma terkadang memang kita ga puas sih dengan ending seperti itu. Aku sendiri contohnya, menurutku, dengan ending yang seperti itu, aku jadi benar-benar penasaran dengan nasib karakter pasca selamat dan berhasil kabur dari serangan zombie. Lalu bagaimana dengan zombie-zombie yang masih dihidup tadi di tempat lain? Apa ga ada cara untuk membasminya? Gimana kalau wilayah yang mereka tempati pasca selamat itu juga kedatangan zombie dari jauh sana yang terus jalan dan mengejar lantas lama-lama sampai di tempat mereka? Penjelasannya benar-benar kurang.
Tapi, katanya penulis dan sutradaranya sudah mengeluarkan sekuel untuk film Train to Busan ini dalam bentuk film animasi (judulnya Seoul Station kalau ga salah, aku belum nonton yang ini). Mungkin di sana dijelaskan bagaimana cari membasmi zombie-zombie tersisa dan juga mengatasi penyebabnya tadi.
Kalau ada yang bisa diambil setelah menonton film ini adalah pesan moralnya. Terkadang memang kita harus memikirkan orang lain ketimbang memikirkan diri sendiri karena suatu saat orang lain itu bisa membantu di saat-saat kita membutuhkan. Tapi, di samping itu semua, orang yang memikirkan diri sendiri juga ternyata punya alasan sendiri loh kenapa dia egois dan tak acuh.
Terlepas dari semua jalan cerita yang bagus dan memukau, yang aneh buat aku itu adalah zombienya. Mungkin karena selama ini zombie yang aku tahu itu lambat dan tidak bisa lari, jadi ketika melihat zombie yang dengan cepat mengejar dan menyebar di film ini, aku jadi merasa janggal. Menurut artikel yang aku baca yang membahas tentang film ini, zombie di film ini dimodifikasi dari cerita zombienya 28 Days later milik Danny Boyle. Keadaan zombie benar-benar terasa terdesak dan tergesa-gesa sehingga membuat mereka menjadi pelari ulung dan tidak takut cahaya sama sekali. Di dalam film ini, dijelaskan kalau zombienya tidak bisa melihat apa-apa ketika masuk terowongan dan ga ada cahaya matahari sama sekali dan mereka juga sensitif dengan bunyi-bunyi. Nah, di situlah kesempatan pada karakter utama untuk melawan mereka demi menyelamatkan diri sendiri dan orang-orang tercinta mereka.
sumber : wordpress
More aboutREVIEW TRAIN TO BUSAN

MOVIE REVIEW: Kung Fu Panda 3, Jati Diri Sejati Po

Diposting oleh Unknown on Jumat, 21 Oktober 2016

MOVIE REVIEW: Kung Fu Panda 3, Jati Diri Sejati Po

Po si panda harus meningkatkan ilmu kung fu sekaligus mengenal asal muasalnya.
Muvila.com – Selain jadi salah satu studio animasi terdepan Hollywood, serta kerap memakai bintang Hollywood terkenal untuk mengisi suara film-filmnya, DreamWorks Animation juga dikenal sebagai studio yang tak malu-malu berusaha menciptakan franchise. Tak mengherankan lagi bila DreamWorks gemar membuat sekuel atau spin-off, apalagi dari film-film yang sukses di pasaran, sebut saja Shrek, Madagascar, dan How to Train Your Dragon. Kadang hasil kelanjutan dari franchise tersebut menggembirakan dari segi box office, tetapi tak jarang hasilnya kurang memuaskan dari segi cerita.
Kung Fu Panda termasuk dalam franchise milik DreamWorks yang 'beruntung', karena sekuel pertamanya, Kung Fu Panda 2 (2011) masih meneruskan kesuksesan film Kung Fu Panda (2008). Sambutan terhadap kedua film tersebut termasuk positif, baik dari raihan box office yang sama-sama tinggi, maupun kualitas kontennya. Salah satunya dibuktikan oleh fakta bahwa keduanya masuk nominasi Best Animated Feature Film di Piala Oscar. Tentu saja, karena ini DreamWorks, kesuksesan itu perlu dilanjutkan dengan sekuel lagi.
Namun, mungkin sedikit prematur untuk menganggap Kung Fu Panda 3 hanyalah sebuah usaha untuk mengeruk kantong konsumen—terutama para orang tua yang bersedia menuruti keinginan anak-anaknya untuk nonton film ini di bioskop dan membeli merchandise-nya. Bila diperhatikan, para kreator film ini berhasil memanfaatkan potensi cerita dan karakternya yang memang cukup layak untuk diteruskan hingga film ketiga. Potensi yang paling utama tentu saja adalah tentang jati diri Po, panda jago makan yang belakangan juga jago kung fu.

Bila diingat kembali, unsur pencarian identitas memang jadi benang merah tema sejak Kung Fu Panda pertama, namun tema itu digali setahap demi setahap. Film Kung Fu Panda pertama memperkenalkan dunia persilatan Tiongkok kuno yang dihuni para hewan berperadaban seperti manusia. Plotnya lebih kepada pembuktian bahwa Po (diisi suara Jack Black) adalah sang Pendekar Naga, yang diramalkan akan menyelamatkan Tiongkok dari kekuatan jahat, sekalipun saat itu ia hanya anak pedagang mi yang tak punya kemampuan bela diri sama sekali.
Di film itu, kenyataan bahwa Po seekor panda dengan ayah seekor angsa (Mr. Ping, diisi suara James Hong) seakan jadi lelucon tersembunyi, apalagi digambarkan Po merasa bahwa itu hal normal saja. Pada akhirnya poin tersebut memang tidak menimbulkan pertanyaan terlalu besar, karena perhatian lebih tertuju pada akan jadi apa Po di masa depan. 'Keanehan' identitas masa lalu Po baru mulai dikupas di Kung Fu Panda 2, dan terungkap bahwa benar Po adalah anak angkat, dan kemungkinan ia adalah panda satu-satunya yang tersisa.
Kung Fu Panda 3 bisa dikatakan sebagai puncak dari dua perjalanan Po: menggali jati diri masa lalu, dan memenuhi jati diri masa depannya. Suatu ketika Po disuruh oleh sang guru, Shifu (Dustin Hoffman) untuk mulai mengajar kung fu di perguruan sebagai tahapan untuk meningkatkan ilmunya, sesuatu yang dijalankan Po dengan kewalahan karena ia masih belum meninggalkan sifat kekanak-kanakannya. Sementara itu, Po juga kedatangan Li (Bryan Cranston), seekor panda yang mengaku sebagai ayah kandungnya, dan hendak mengajaknya pulang ke desa panda yang keberadaannya dirahasiakan.
Di saat bersamaan, dunia persilatan terancam oleh kedatangan Kai (J.K. Simmons), pendekar yak—semacam sapi gunung—dari dunia arwah yang hendak mengambil kesaktian para pendekar, terutama sang Pendekar Naga. Kehadiran Kai menjadi penggerak plot film ini, sehingga unsur pertarungannya yang menjadi ciri khas film silat dan juga franchise Kung Fu Panda tetap terjaga, juga meningkatkan nilai hiburannya.

Hanya saja, fungsi Kai di sini tak lebih dari itu, kalah pamor dengan pencarian jati diri Po dan discovery-nya terhadap kehidupan sesama panda. Kurang terlibatnya sosok musuh dalam tema ceritanya menjadi salah satu kelemahan Kung Fu Panda 3. Padahal, Kai mungkin musuh tersakti yang pernah muncul di franchise Kung Fu Panda
Selain itu, Kung Fu Panda 3 memang secara keseluruhan terlihat paling ringan di antara tiga film yang sudah ada. Ini bisa dilihat dari gaya penuturan yang serba cepat, tata laga yang seru dan kreatif, dan berbagai macam lawakan yang muncul hampir di semua tempat—yang sayangnya tidak semuanya terasa segar karena mungkin tak lagi mengejutkan di filmnya yang ketiga. Di satu sisi, hal ini berhasil membuat film ini dapat dinikmati dengan santai tanpa harus dijejali dengan pemikiran-pemikiran berat.
Di sisi lain, film ini mengandung kisah Po yang harus membuktikan ia pantas disebut Pendekar Naga, melindungi tempat kelahiran yang baru ia kenal, juga pilihan di antara ayah kandung atau ayah angkat yang membesarkannya. Tema-tema ini sangat berpotensi membuat Kung Fu Panda 3 lebih emosional dari, misalnya, Kung Fu Panda pertama yang berkutat pada keyakinan tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan seseorang. Hanya saja, pembawaan sebagian besar film yang sangat ceria agak menutupi potensi itu, sehingga film ini tidak semeyentuh yang diharapkan.
Terlepas dari itu, Kung Fu Panda tetap sebuah film yang pantas disandingkan dengan dua film sebelumnya, terutama dari nilai hiburannya yang masih mumpuni. Tampilan gambar dan animasi indah yang disokong oleh tata suara dan tata musik apik membuat film ini begitu nikmat untuk ditonton segala usia. Karakter-karakter lamanya masih tetap lovable, sementara karakter-karakter barunya cukup cepat untuk diakrabi. Masih ada nilai-nilai inspiratif yang bisa diambil seperti pendahulunya, membuat film yang jelas-jelas komedi ini tak cuma sambil lalu tanpa makna. Lagipula, apa yang lebih menggemaskan dari pada melihat puluhan panda gemuk berbagai ukuran bertingkah polah konyol sekaligus?
sumber : muvila
More aboutMOVIE REVIEW: Kung Fu Panda 3, Jati Diri Sejati Po

MOVIE REVIEW: The Conjuring 2, Film Seram yang Bercerita

Diposting oleh Unknown

MOVIE REVIEW: The Conjuring 2, Film Seram yang Bercerita

Tak cuma pamer adegan seram, The Conjuring 2 juga masukkan unsur misteri dan kisah menyentuh.
Muvila.com – Dirilis tahun 2013, The Conjuring arahan James Wan tumbuh jadi salah satu film horor Hollywood yang sukses besar di box office—total 137,4 juta dolar AS, bahkan sanggup menyaingi film-film blockbuster di tahun tersebut. Ketika belakangan genre horor di Hollywood lebih identik dengan biaya murah dan dibintangi pemain-pemain baru, atau berbiaya besar tapi flop di box office, The Conjuring mampu tampil sebagai film horor dengan nilai produksi yang pantas sekaligus sukses di pasaran.
Kisah The Conjuring pada dasarnya berkutat pada rumah berhantu. Namun, kisah ini juga punya sesuatu yang membuatnya bukan film hantu-hantuan semata. Kisah yang disusun oleh Chad Hayes dan Carey Hayes tersebut diangkat dari kisah nyata pasangan suami istri Lorraine dan Ed Warren, penyelidik paranormal di Amerika Serikat yang pada era 1970-an kerap dimintai tolong untuk mengatasi berbagai kasus gangguan supernatural.
The Conjuring 2 kembali menyorot salah satu kasus besar yang ditangani Lorraine (Vera Farmiga) dan Ed (Patrick Wilson). Usai menangani kasus rumah di Amityville—yang dalam kehidupan nyata menginspirasi franchise horor The Amityville Horror, Lorraine dan Ed jadi sering disorot oleh media massa, termasuk dihadapkan oleh pihak-pihak yang sangsi bahwa aktivitas paranormal yang mereka lakukan adalah sungguhan.
Di saat bersamaan, Lorraine yang dikaruniai indera keenam kerap mendapat penglihatan tentang kematian suaminya, juga sosok iblis berpakaian biarawati yang belakangan gencar mengusiknya. Lorraine menganggap itu adalah pertanda ia dan Ed harus berhenti menerima kasus lagi.
Sementara itu, di wilayah Enfield di kota London, Inggris, gangguan supernatural menimpa sebuah keluarga miskin Hodgson. Janet (Madison Wolfe), anak kedua dari empat bersaudara Hodgson, kerap diganggu oleh arwah misterius, mulai dari memindahkannya dari kamar terkunci ke ruang tamu, sampai membuatnya kerasukan. Berbagai peristiwa supernatural lainnya pun disaksikan oleh ketiga saudaranya dan sang ibu, Peggy (Frances O'Connor), sampai ke tetangga dan polisi, bahkan kasus ini jadi sorotan media lokal.

Akhirnya, seorang penyelidik paranormal Maurice Grosse (Simon McBurney) memutuskan untuk membantu keluarga ini, menghubungkan mereka dengan Lorraine dan Ed, yang bersedia memeriksa kasus ini walau awalnya enggan. Lorraine dan Ed mendatangi keluarga Hodgson, khususnya Janet yang seperti 'terpilih' untuk jadi alat sang arwah. Anehnya, terlepas dari berbagai kejadian supernatural yang terjadi di rumah itu, Lorraine dan Ed justru kesulitan untuk membuktikan bahwa arwah ini benar-benar ada, membuat mereka juga kebingungan bagaimana harus menolong keluarga malang ini.
Ekspektasi terhadap film horor belakangan ini adalah dari tingkat kengerian yang ditampilkan, sampai-sampai unsur cerita pun dikesampingkan. The Conjuring 2—seperti The Conjuring—beruntung memiliki dasar cerita yang menarik, yaitu keberadaan Lorraine dan Ed yang memang ada di dunia nyata. Para pembuat film ini pun tampak menangkap satu hal penting dari kedua tokoh ini yang kemudian dieksplorasi di layar. Bukan pada kemampuan paranormal mereka, melainkan hubungan mereka sebagai pasangan yang memang berbeda dari pasangan lain.
Dengan segala adegan seramnya, bila diperhatikan The Conjuring 2 melandaskan ceritanya pada kekhawatiran Lorraine kehilangan Ed, satu-satunya orang yang percaya dan mau mendukungnya, bahkan bersama-sama berjuang di bidang aktivitas paranormal. Film ini pun menambahkan beberapa adegan melankolis yang sanggup memberi warna berbeda, tanpa harus mengganggu mood keseluruhan film. Hubungan unik kedua karakter ini semakin diperkaya dengan permainan apik dari Farmiga dan Wilson.
Di sisi lain, film ini juga memberi porsi yang cukup besar untuk keluarga Hodgson sebagai korban dalam kasus ini. Mulai dari situasi keluarga yang sulit—Peggy harus mengurus keempat anaknya sendirian setelah bercerai, ditambah anak bungsu mereka yang bicaranya gagap, sampai keputusasaan mereka menghadapi gangguan yang makin menjadi-jadi di rumah mereka sendiri. Simpati pun mudah muncul bagi penonton karena gangguan yang dialami Hodgson bukan karena kebodohan mereka sendiri, melainkan korban pelampiasan si arwah. Toh, rumah mereka pun sebuah rumah biasa yang sedikit lapuk karena kesulitan penghuninya untuk mengurusnya, bukan yang terlalu dikondisikan seram.

Namun, The Conjuring 2 tetap setia pada hakikatnya sebagai sebuah film horor yang bertujuan menakuti penonton. Walau kisahnya, 'aturan' keberadaan arwahnya, hingga penyelesaiannya cenderung klasik, film ini masih memunculkan kengerian dalam berbagai metode. Mulai dari berbagai penampakan makhluk dengan tampang seram, jump scares yang mengagetkan, atmosfer menggelisahkan, hingga komunikasi manusia dengan arwah yang mampu menimbulkan ketakutan psikologis. Semua unsur itu disajikan dengan piawai tanpa terkesan murah, didukung dengan tata adegan, artistik, gambar, dan ekspresi para pemain, dan dijamin dapat menggirangkan para penggemar horor.
Meski demikian, di situ pula terletak kelemahan film ini. Secara penuturan cerita, film ini mengambil waktu terlalu lama, bahkan sampai separuh durasi film, dalam memperkenalkan karakter-karakternya lewat berbagai adegan seram, sebelum masuk pada inti cerita penyelidikan Lorraine dan Ed terhadap misterinya. Adegan-adegan ini memang berpotensi sukses membuat penonton 'terhibur', tetapi membuat ceritanya jadi tersendat dan terasa terlalu dipanjang-panjangkan, sebelum akhirnya berjalan lebih lancar di paruh kedua.
Terlepas dari itu, The Conjuring 2 tetap berhasil menghadirkan sebuah film horor yang tak hanya sekadar menakut-nakuti, tetapi juga bercerita. Ada kengerian yang memberi efek maksimal, tetapi juga ada keheranan dan kehangatan, dan diterjemahkan dengan baik dan rapi dalam adegan-adegannya. Ketika tak banyak film horor yang menyajikan semua itu dalam satu tontonan, The Conjuring 2 justru mampu menunjukkannya dalam ramuan yang relatif memuaskan.
sumber:muvila
More aboutMOVIE REVIEW: The Conjuring 2, Film Seram yang Bercerita

Review Film Batman v Superman – Terlalu Padat dan Dipaksakan

Diposting oleh Unknown

Review Film Batman v Superman – Terlalu Padat dan Dipaksakan

Review Film Batman v Superman
Setelah bertahun-tahun menunggu, akhirnya film Batman v Superman: Dawn of Justice bisa saya nikmati di bioskop dengan suasana gegap gempita. Bagi sebagian orang, film ini bak Star Wars: The Force Awakens yang sakral untuk sejumlah ‘umatnya’. Mereka rela menunggu sekian lama agar kisah dan karakter favoritnya dapat muncul lagi di layar lebar, begitu pula Batman v Superman, yang sangat dinanti-nanti walau akhirnya tak berhasil memuaskan semua pihak.

Film Superhero yang Tak Sempurna

Dengan durasi 151 menit, film yang digadang sebagai film superhero terbaik ini tak cukup sempurna dari segi kompleksitas plot ataupun penyajian cerita. Bagi yang belum menonton film Man of Steel, rasanya sulit untuk menelan semua kisah sebab-akibat yang ada di tiap bagian sekuens film ini. Ada banyak kejadian yang kurang dijelaskan dan bahkan terlalu cepat untuk bergeser ke masalah selanjutnya. Entah ini kesalahan Snyder, atau naskah yang digunakan, tapi yang pasti keutuhan cerita di film Batman v Superman: Dawn of Justice  masih kalah jauh jika dibandingkan dengan The Dark Knight  arahan Christopher Nolan.  Beruntung, nantinya akan ada versi director’s cut film ini dalam format Blu-Ray dengan selisih durasi cukup besar dari versi theatrical-nya. Sepotong harapan saya berada di sana, karena elemen cerita yang terlalu padat dan dipaksakan inilah kelemahan terbesar film Batman v Superman: Dawn of Justice.
Secara keseluruhan, film yang diproduksi dengan budget $250 juta atau setara Rp 3.3 triliun ini sangat seru untuk ditonton. Saya sendiri larut dalam alur ceritanya yang penuh aksi brutal dan pertarungan dahsyat hingga melupakan lamanya waktu berjalan. Momen ‘wow’ yang disajikan pun tak sedikit, bahkan terbilang banyak. Bagi yang merasa ‘dilecehkan’ dengan spoiler di trailer-nya, jangan khawatir, karena masih banyak elemen penting dalam film ini yang masih bisa dinikmati secara fresh. Namun jika anda ingin menonton film ini di bioskop, maka saya anjurkan untuk terlebih dahulu menonton film Man of Steel. Ini penting, karena sang manusia baja tak lagi dikisahkan secara mendalam di film Batman v Superman: Dawn of Justice, begitu juga dengan Lois Lane dan kisah cinta antara mereka berdua. Dua hal baru tentang Superman yang diperlihatkan di film ini hanyalah seputar masalah emosi dan kelemahan fisik sang manusia baja.
Batman v Superman adalah ajang pembuktian Ben Affleck yang sempat diragukan sebagai pemeran Batman. Ia tampil begitu apik, meskipun porsi yang diberikan tak sebesar Christian Bale dalam trilogi Batman. Menurut saya, tak cukup untuk membandingkan Christian Bale dengan Ben Affleck hanya dengan satu film ini. Saya optimis jika nantinya film solo Batman yang diperankan oleh Ben Affleck telah dibuat, kita akan terperangah dan berhenti membandingkannya dengan Bale. Ini cuma masalah porsi dan kedalaman cerita yang berbeda, atau mungkin gaya penyutradaraan yang berbeda. Sedikit spoiler, Batman di film ini jauh lebih ganas dan brutal jika dibandingkan dengan versi Nolan.
Selain cerita yang tak utuh, satu hal lagi yang menggangu saya di film Batman v Superman: Dawn of Justice  adalah karakter Lex Luthor yang diperankan oleh Jesse Eisenberg. Mungkin sebagian dari anda tak setuju, tapi bagi saya Jesse Eisenberg tak bisa memberikan kesan yang berbeda dalam film ini, ia lagi-lagi tampil dengan karakter andalannya yang serba tau dan licik. Tokoh Lex Luthor pun sekilas mirip seperti Joker, hanya saja kemasannya dibentuk lebih halus dan sopan. Singkat kata, Lex Luthor bukanlah tokoh spesial dalam film ini.
Dari semua karakter, yang paling mencuri perhatian di film ini adalah sosok Wonder Woman yang diperankan oleh Gal Gadot. Meskipun dulunya sempat diragukan, nyatanya ia berhasil menjadi pusat atensi dengan paras cantik serta aksi memukau yang ia tampilkan. Karakter Wonder Woman yang ia perankan pun tersaji dengan porsi yang pas, tak kurang dan tak terlalu berlebihan. Bagi mayoritas kaum Adam, Wonder Woman versi Gal Gadot adalah main reason mengapa film Batman v Superman: Dawn of Justice pantas untuk ditonton.

Bicara soal visual, Batman v Superman benar-benar dikemas dengan gaya otentik Zack Snyder. Pergerakan kamera, komposisi gambar, serta cut-to-cut yang ditampilkan membuat saya teringat dengan film Sucker Punch arahannya yang dirilis tahun 2011 lalu. Gaya khas Zack Snyder ini kemudian dibalut dengan unsur dark yang kental dengan karakteristik film DC. Tone warna yang kelam, serta banyaknya adegan slow motion menjadikan Batman v Superman tampak lebih mudah untuk dinikmati oleh kalangan dewasa. Sebuah perpaduan yang tepat dan kontras jika dibandingkan dengan gaya Josh Whedon bersama Marvel yang ringan dan cukup mudah dicerna.
Berpindah ke bagian musik, saya harus mengangkat topi lagi untuk Hans Zimmer. Tensi yang tinggi, dan suasana mencekam berhasil ia sajikan dengan sangat presisi dan tepat sasaran. Bagi saya, Hans Zimmer adalah penyelamat Zack Snyder, karena jika saja bukan dirinya, mungkin film ini akan sangat terasa hambar dan tidak menarik. Sama seperti Man of Steel yang begitu menggugah, Batman v Superman: Dawn of Justice cukup intense untuk meningkatkan adrenalin saya. Terlebih lagi ketika munculnya Wonder Woman dengan distorsi yang sangat fantastis.
Jika ditilik lebih detail lagi maka Batman v Superman adalah film pembuka untuk kisah DCEU lainnya. Untuk itu, jangan menaruh harapan besar terhadap film ini meskipun pada dasarnya Batman v Superman: Dawn of Justice adalah film yang sangat nikmat untuk disantap. Jika Man of Steel adalah pintu masuk rumah, maka Batman v Superman adalah salam pembuka yang hangat, namun belum cukup untuk mengenal karakter sang empunya rumah. Kita akan diajak lebih dalam untuk mengenal universe DC ini dengan film Suicide Squad, Wonder Woman, Justice League Part 1, dan sejumlah film lainnya dalam beberapa tahun mendatang.
Timeline yang disajikan dalam DCEU pun tak linear seperti MCU, karena harusnya sebelum ada Batman v Superman ini kita sudah mengenal sang Batman lebih dalam sama seperti Superman dengan film Man of Steelnya. Namun nampaknya DC ingin menciptakan timeline universe dengan gaya yang berbeda. Ibaratnya, kita disajikan makanan pembuka yang asing di mulut namun terasa nikmat di santapan pertama.
Sekali lagi, meskipun Batman v Superman: Dawn of Justice adalah film yang bagus, namun janganlah anda terlalu berharap dengan film ini sebelum menontonnya di bioskop. Layaknya logo yang tersemat di dada Superman, harapan yang tinggi bisa menjatuhkan anda jauh lebih keras dan menyakitkan.
sumber : cinemags
More aboutReview Film Batman v Superman – Terlalu Padat dan Dipaksakan

Review Film Independence Day: Resurgence

Diposting oleh Unknown

Review Film Independence Day: Resurgence

Di tahun 1996 lampau, mungkin sebagian dari Anda sempat menonton film sci-fi berjudul Independence Day. Film yang dibintangi oleh Will Smith tersebut menjadi film box office yang populer, dengan bertemakan serangan alien yang jatuh di tanggal kemerdekaan Amerika Serikat. Selang 20 tahun, film sekuel dari Independence Day pun hadir di layar lebar dengan masih bertemakan serangan alien di Bumi, dengan topik utama serta jajaran artis yang berbeda dengan film terdahulunya.

Alien yang Sama, dengan Twist yang Sedikit Berbeda

independence day resurgence (4)
Disebutkan di awal film, Independence Day: Resurgence mengambil lokasi di Bumi 20 tahun kemudian setelah kejadian serangan alien di tahun 1996. Bumi telah berkembang dengan menggunakan teknologi canggih alien yang memungkinkan manusia untuk kini bisa memiliki beragam transportasi serta senjata yang didesain untuk bisa menjaga Bumi dan melindungi dari serangan alien. Selama 20 tahun tersebut, Bumi tidak memiliki perang antar negara dan saling berdamai satu dengan yang lain, hingga di hari-hari menjelang 4 Juli para alien yang dipenjara serta pesawatnya yang jatuh di Bumi kembali aktif untuk memberikan sinyal panggilan bala bantuan.
new-independence-day-resurgence-trailers-offer-better-look-at-the-alien-queen-27
Alien pun kembali datang, kini dengan pesawat induk yang jauh lebih besar dengan persenjataan yang lebih ketat, membuat penduduk Bumi nyaris tak berdaya untuk bisa menghadapi alien yang datang kedua kalinya tersebut. Namun di dalam situasi krisis tersebut, para tokoh utama film masih bertekad untuk menghadapi alien tersebut dengan melakukan berbagai cara dan strategi, demi menjaga Bumi dari kepunahan total kembali. Namun, apakah cara yang ditempuh untuk menghadapi alien tersebut adalah cara yang benar untuk mencegah kiamatnya dunia, atau ada cara kedua yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya?

Masih Epik, dengan Bumbu Teknologi Canggih ketika Melawan Alien

independence day resurgence (2)
Jika Anda pernah menonton film pertamanya, pasti masih ingat dengan pertempuran epik antar manusia dengan teknologi terbatas melawan alien yang menggunakan teknologi lebih berbahaya—walau kemudian umat manusia berhasil menang dalam perang antar galaksi tersebut. Hal yang sama juga masih akan ditemui di dalam Independence Day: Resurgence, terutama dalam aksi tembak-tembakan pesawat dengan alien. Adrenalin serasa dipacu ketika disuguhi adegan kedatangan alien yang sudah mampu merusak sebagian wilayah Bumi, serta adegan tembak-tembakan dan penerbangan pesawat yang cukup membuat greget akan berhasil dilakukan atau tidak.
independence day resurgence (5)
Walau adegan pertarungannya cukup epik, pastinya ada bagian yang “terpaksa” dikorbankan yaitu alur kisah yang dinilai terlalu cepat fasenya serta terkesan lompat-lompat. Penyelesaian masalah dalam Independence Day: Resurgence ini memang memiliki sedikit “twist”, tetapi tidak banyak dan masih memberikan kesan “gampang”. Hal ini sendiri membuat film Independence Day: Resurgence jadi terasa seperti film sci-fi yang “klise”. Apakah ini artinya membuat film Independence Day: Resurgence jadi jelek? Tidak juga, karena masih banyak aspek lain yang menjadi keunggulan film sci-fi tersebut, dengan memiliki beragam adegan pemicu adrenalin dan pesan moral yang hendak disampaikan melalui film ini.
independence day resurgence (1)
Dari segi cerita dan pengenalan tokoh, mungkin yang belum sempat menonton film pertamanya akan disarankan untuk mencoba tonton lebih dulu. Hal ini dikarenakan film Independence Day: Resurgence masih sangat tersambung dari film pertamanya, di mana beberapa informasi esensial terkait tokoh-tokoh yang kembali hadir di dalam film tersebut bisa disaksikan di film pertama tahun 1996 itu. Bukan sebuah keharusan, memang, tetapi jika menonton film pertama lebih dulu kemudian baru menonton Independence Day: Resurgence, informasi yang ditangkap akan menjadi jauh lebih jelas.
kami masih menyayangkan absennya aktor Will Smith di dalam film ini :(
kami masih menyayangkan absennya aktor Will Smith di dalam film ini
Tanggal rilis: 21 Juni 2016 (Indonesia)
Genre: epic science fiction
Durasi: 120 menit
Rating: Remaja (17+)
Sutradara: Roland Emmerich
Para pemain: Liam Hemsworth, Jeff Goldblum, Jessie T. Usher, Bill Pullman, Maika Monroe, William Fichtner, Sela Ward, Judd Hirsch, Brent Spiner, Vivica A. Fox, Angelababy
Studio: Centropolis Entertainment, TSG Entertainment, Electric Entertainment, 20th Century Fox
sumber : jagatreview
More aboutReview Film Independence Day: Resurgence

Review Film The Jungle Book – Salah Satu Kandidat Film Terbaik 2016

Diposting oleh Unknown

Review Film The Jungle Book – Salah Satu Kandidat Film Terbaik 2016

Review Film The Jungle Book
Disney semakin membuktikan bahwa kesederhanaan ide kreatif dan penghormatan kepada sebuah karya populer jauh lebih membuahkan hasil manis ketimbang menyuguhkan versi kontemporer, lewat film adaptasi kisah dongeng klasik populer The Jungle Book. Padahal, jika menilik tren ranah film-film adaptasi dongeng beberapa kurun waktu, jalur yang berseberangan justru merupakan pendekatan yang kerap diadopsi oleh banyak studio film besar dalam menceritakan kembali perihal yang notabene sudah dikenal orang banyak. Tidak percaya? Judul-judul semacam Beauty and the Beast, Red Riding Hood, Sleeping Beauty, Hansel and Gretel, dan tentunya Snow White adalah kisah dongeng yang hadir dalam versi alternatif kontemporernya saat dituangkan ke versi layar lebar live action.
Akan tetapi, dimulai dengan Cinderella yang dirilis tahun lalu, Disney melakukan strategi berbeda. Alih-alih memodifikasi dan melakukan banyak tambal-sulam, jalur hanya sekadar memanusiakan apa yang pernah mereka sajikan di salah satu film animasi paling sukses mereka, justru yang diambil. Dengan goal memancing perasaan nostalgia dan mungkin bercermin pada formula kesuksesan film-film adaptasi novel, yakni memberi gambaran visual yang tulus dari yang tertuang di kisah aslinya, meski sebenarnya langkah ini juga mengandung resiko karena rendahnya level perihal baru yang bisa ditawarkan, torehan yang jauh lebih mengembirakan terbukti mampu diraih, baik dari segi raupan komersialnya maupun apresiasi dari kritikus.
Maka, sudah tentu seperti halnya apa yang dihadapi oleh Cinderella, level rendahnya perihal baru yang bisa ditawarkan adalah tantangan yang juga harus ditanggulangi oleh sineas Jon Favreau beserta timnya. Pun juga faktor efek spektakuler yang potensi sukses maupun gagalnya punya porsi berimbang, karena efek yang dihadirkan tampil dalam wujud karakter-karakter hewan di dunia nyata yang tentunya kalah fantastis jika dibandingkan monster-monster mitologi fantasi, misalnya.
Walaupun demikian, meski di masa awal promosinya film ini kalah kelas reputasinya dengan film-film besar lain yang lebih memancing perhatian, sebut saja film-film bergenre superhero, misalnya, The Jungle Book di luar dugaan dapat dipresentasikan secara apik oleh Favreau. Memercayakan pada faktor kecanggihan teknologi animasi komputer untuk menghadirkan visualisasi alam dan para penghuni rimba yang stunning, dukungan penyulih suara yang terdiri dari bintang-bintang Hollywood papan atas, dan satu bintang pendatang baru sebagai satu-satunya karakter manusia di film berdurasi 105 menit ini, Favreau sukses membuai penonton menikmati karya penyutradaraan terbarunya ini.
Indah secara visual dan mampu menghadirkan apa yang disebut daya magis Disney, The Jungle Book bisa dibilang versi sukses dari penuangan animasi klasik tahun 1967-nya namun sekaligus mampu menjadi film yang sama sekali fresh. Meski tidak bertujuan untuk menjadi sebuah film komedi, namun film ini juga sarat humor yang ampuh menggelitik penontonnya. Apalagi, kerja keras para animator dan performa para pengisi suaranya terbukti terjalin apik sehingga karakter-karakter hewan yang hadir begitu pas dengan apa yang disuarakan para pemainnya.
Tidak salah rasanya jika film ini mengedepankan efek visual sebagai jualan utamanya di sini, karena film ini bisa disetarakan dengan Avatar untuk sektor ini. Yang menambah nilai lebihnya adalah tim Favreau bisa membuat kita lupa bahwa apa yang kita tonton bukan hewan sungguhan melainkan hasil animasi komputer. Tidak berlebihan jika The Jungle Book misalnya akan menjadi unggulan nominator Best Special Effects di ajang Oscar mendatang.
Dari segi plotnya, seperti tadi disinggung sebelumnya, pendekatan yang diambil menjadikan cerita yang dikedepankan sudah tentu sama dengan versi orisinalnya, akan tetapi itu diperkaya dengan berbagai elemen menarik yang ditambahkan ke dalamnya dan skrip yang apik, yang hasilnya makin menambah keimpresifan film ini. Memang, sebagai tontonan untuk lingkup keluarga apa disajikan di sini mungkin akan sedikit membuat kaget karena cenderung agak lebih kelam tonenya dibanding apa yang dituangkan di versi animasinya, namun ditinjau secara keseluruhan, meski sejatinya penulis bukan fans terhadap tipe film semacam ini, harus diakui bahwa The Jungle Book akan menghuni daftar sepuluh besar film terbaik rilisan tahun ini. Tidak hanya itu melalui film yang sama, Favreau sepertinya telah menghasilkan sebuah karya yang menunjukkan bagaimana sebuah film animasi klasik dari dongeng klasik dapat digarap untuk menghasilkan sebuah film live action yang apik seraya bakal menjadi film live action Disney klasik di masa depan.
More aboutReview Film The Jungle Book – Salah Satu Kandidat Film Terbaik 2016

Review Film Zootopia (2016) Mengusik Stigma

Diposting oleh Unknown

Review Film | “Zootopia (2016)” Mengusik Stigma

zootopia 2016 tersapacom
Disney benar-benar sedang mencari jati diri baru.  Ingat saja film-film produksi departemen animasinya ke belakang. Rasanya selama ini Disney sudah sangat dekat dengan penceritaan yang ringan dan loveable. Namun, bersamaan dengan langkah studio ini dalam membawa kisah yang lebih dewasa, ditandai dengan pewujudan film animasi klasik menjadi live-action, lini animasinya ikut ter-upgrade secara improvisasi dan gagasan. Zootopia ikut menjadi saksi awal pijakan besar yang akan terus diambil itu.
Zootopia berkisah tentang Judy Hopps–seekor kelinci optimis–yang bercita-cita untuk menjadi polisi di Zootopia. Dia adalah sosok yang tidak mengenal kata “ciut” meskipun sejak awal banyak hewan lain yang mencibirnya. Lebih parahnya lagi, kedua orangtuanya di awal juga sangat pesimis. Ternyata, tekad keras berhasil membawa Judy ke cita-citanya. Dia berhasil menjadi kelinci polisi pertama dan ditempatkan di Zootopia. Perjalananan film ini baru saja dimulai. Judy terus menerus mendapat sentimen negatif dari lingkungan kerja hingga atasannya. Hingga suatu ketika, dia mendapati celah untuk membalikkan semua itu.

zootopia 2016 tersapacom
Kalau orang-orang di awal mengira bahwa Zootopia adalah materi yang dangkal, maka jawaban singkat saya adalah: salah besar. Zootopia sungguh luar biasa. Film ini menjunjung perkara toleransi, stigma, dan aspirasi sebegitu tingginya. Saya berani bertaruh, apabila mediumnya bukan animasi, Zootopia pasti bakalan bubar jalan. Disney di level ini menjadi luarbiasa identik dengan Pixar.
Semua orang sudah sangat hafal bahwa Disney dan Pixar adalah pemain utama di jagad animasi global. Perbedaan keduanya terletak di ciri khas penyampaian kisah. Kalau di dunia produsen superhero, Disney bisa diumpamakan sebagai Marvel–yang ringan dan mudah membuat senang semua orang. Sedangkan Pixar lebih condong ke DC–gagasan yang dibawa mayoritas lebih kompleks dan kadang malah sangat segmented. Namun di sini, Zootopia adalah anomali Disney yang membuat saya sangat bahagia. Studio ini akhirnya berani bereksperimen lebih jauh lagi dengan cara meramu kompleksitas gagasan di sebuah sajian animasi.


Review ini tidak akan terlalu jauh membahas aspek teknikal. Sebab, berbagai hal teknis buat film bergenre animasi sudah khatam digarap oleh para penggawa Zootopia. Animasinya detail dan halus. Scorring-nya pas. Pengisi suaranya tidak ada yang terdengar salah karakter–blended. Justru yang menjadi sorotan utama saya adalah keberadaan Shakira lewat lagu Try Everything-nya. Selain catchy, lirik dan tone musiknya uplifting banget.
zootopia 2016 tersapacom
Zootopia menggunakan “stigma” sebagai komoditas utama penceritaannya. Film ini menggambarkan sebegitu menyedihkannya menjadi entitas (anggap saja ras) yang terkotak-kotak oleh keadaan sosial. Memang di premisnya sudah digambarkan bahwa hewan pemangsa dan buruannya telah berada di level berdamai, hidup rukun. Namun, tidak bisa dilepaskan begitu saja bahwa prasangka-prasangka satu spesies dengan spesies lain itu bersifat laten.
Rubah digambarkan sebagai sosok yang licik, kelinci digambarkan sebagai karakter yang lemah, singa digambarkan sebagai tokoh yang kuat, hingga kambing digambarkan sebagai binatang tak berdaya. Zootopia secetek itu? Sama sekali tidak. Oleh film ini, semua stigma yang dudah dilekatkan di awal, dijungkirbalikkan dengan natural seiring laju durasi.
Pandangan kita pada banyak hal tiba-tiba saja menjadi blur–tentang prasangka-prasangka yang selama ini sudah kita iyakan. Zootopia sukses membuat saya melongo. Anak kecil yang menonton film ini pasti mendapatkan kebahagiaan, namun orang dewasa yang menonton film ini pasti mendapat tamparan–tidak cuma sekali, berkali-kali. Apalagi ketika personifikasi yang ada dilemparkan ke kenyataan dunia sosial manusia.
Lewat Zootopia, penonton diliterasi dengan sangat baik perihal saling menghargai pun memaafkan. Sesungguhnya, menghilangkan sekat-sekat, kasta-kasta, kelas-kelas, apa pun istilahnya yang berkaitan dengan status sosial justru akan membuat semuanya menjadi baik-baik saja secara luar-dalam. Namun pasti ada sebagian pihak yang tetap mempertahankan egonya, hal itu tidak bisa dicampakkan begitu saja. Film ini menawarkan sebuah words of wisdom yang mungkin klise tapi sungguh sulit diwujudkan: perubahan bermula dari diri sendiri. Kalau ujaran itu berjalan semestinya? Silakan bayangkan sendiri hasilnya.
sumber : tersapa
More aboutReview Film Zootopia (2016) Mengusik Stigma

Review Film: Captain America – Civil War

Diposting oleh Unknown

Review Film: Captain America – Civil War


civil war1
Film superhero Marvel terbaik sejauh ini, penghargaan ini tampaknya tak berlebihan untuk “menyederhanakan” sensasi seperti apa yang ditawarkan Captain America: Civil War kepada Anda. Ada rasa kekaguman dan kepuasan tersendiri ketika melihat daftar panjang credits mulai berputar di layar lebar, menyederhanakan semua aksi superhero Anda ke dalam daftar panjang nama sederhana yang juga tentu saja, memuat ekstra scene di dalamnya. Ia berakhir jadi sesuatu yang lebih baik dari yang kami antisipasi.
Ada ketakutan bahwa Russo Brothers, terlepas dari apa yang berhasil mereka capai dengan Winter Soldier yang memesona, tak akan mampu merangkum aksi perang antar superhero yang begitu fenomenal ini menjadi sebuah film yang tak berakhir sekedar sebagai sebuah fan-service. Ini adalah film yang tak hanya akan memuat hampir semua superhero yang sudah sempat diperkenalkan Marvel lewat film solo dan Avengers, tetapi juga dua superhero baru yang akhirnya masuk ke dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Bahwa pada akhirnya, mereka mau tak mau, harus mengorbankan apa yang membuat Winter Soldier begitu luar biasa dua tahun yang lalu. Namun untungnya, tak ada satupun kekhawatiran tersebut terjadi. Civil War adalah sebuah film superhero luar biasa yang akan membuat Anda jatuh hati dan menempatkannya sebagai salah satu yang terfavorit di hati Anda. Tak percaya? Anda akan berakhir menganggukkan kepala Anda setelah mencicipinya secara langsung.

Motivasi

Civil War

Lantas, apa yang membuat kami terpesona dengan Captain America: Civil War ini? Bagi Anda yang masih belum familiar dengan garis ceritanya, Civil War menjual konflik antara dua “bintang” Avengers – Captain America dan Ironman yang akhirnya memaksa anggota Avengers yang lain untuk mulai memihak.
Fakta bahwa mereka tak punya kewajiban untuk “menjawab” pada otoritas manapun dan tak bisa dikendalikan membuat ratusan negara di seluruh dunia khawatir. Tergabung dalam komite khusus PBB,  negara-negara ini menuntut tanggung jawab dan kendali bersama atas tim superhero yang tak hanya punya potensi untuk menyelamatkan dunia ini, tetapi juga menghancurkannya. Tony Stark setuju dengan hal ini, namun Steve Rogers – si Captain America tidak. Cap merasa bahwa keputusan politis seperti ini justru akan membuat Avengers tak lagi efektif menjalankan perannya. Namun konflik antara keduanya memuncak setelah sang sahabat lama Cap – Bucky Barnes aka The Winter Soldier kembali menunjukkan batang hidungnya dan justru memicu banyak kekacauan dan kematian. Cap percaya bahwa Bucky masih bisa “diselamatkan”, sementara Tony Stark melihatnya sebagai awal untuk memperlihatkan akuntabilitas tim Avengers itu sendiri.
Civil War1
Civil War2
Menjawab pertanyaan yang kami lemparkan di atas, Civil War memesona karena kemampuan sang sutradara dan penulis cerita untuk meracik sebuah konsep konsekuensi dan motif dalam proporsi yang begitu pas dan rasional. Kita semua paham bahwa tak akan mudah untuk memastikan 10 karakter superhero yang melebur dalam satu ruang yang sama akan bisa berakhir jadi fokus perhatian. Selalu ada yang akan dikorbankan atau berakhir dipaksakan. Tapi tidak di Civil War. Kehebatannya adalah keberhasilan untuk memastikan semua karakter ini punya porsi cerita dan momen penting memorable yang membuat peran mereka lebih bersinar dan tak sekedar berakhir jadi cameo atau karakter pendukung yang tak punya kontribusi sama sekali di sisi cerita. Ini membuat motivasi mereka untuk bertarung dan memihak pada salah satu pihak – Team Captain America ataupun Team Ironman menjadi sesuatu yang rasional, sesuatu yang bisa Anda mengerti, dan mungkin berakhir jadi sesuatu yang Anda dukung dengan penuh. Hasilnya? Ketika momen besar itu tiba dan “Civil War” itu terjadi, Anda berhasil melihat masing-masing karakter ini sebagai individu berbeda dengan motivasi yang berbeda pula. Luar biasa.
Civil War3
Bahkan, Civil War berhasil membuat karakter-karakter yang tak terasa begitu penting di seri-seri MCU sebelumnya seperti War Machine, Falcon, atau bahkan si Scarlet Witch sendiri berakhir sebagai bintang. Dari sisi scene yang lebih emosional, yang memancing tawa, hingga yang membuat adrenalin Anda berpacu kencang, ketiga karakter ini punya porsi yang luar biasa di Civil War dan memperkayanya dengan cara yang tak akan pernah Anda prediksi sebelumnya. Tapi kompleksitas cerita tak pernah hanya soal scene fighting dan kehancuran di sana-sini. Bahkan scene super tenang dimana tim Avengers sekedar membicarakan sudut pandang pribadi mereka soal akuntabilitas jadi daya tarik sekaligus landasan cerita yang keren. Civil War tak hanya melemparkan Anda scene pertarungan epik dan sejenisnya, tetapi juga beragam pilihan moral yang cukup untuk membuat Anda bertanya pada diri Anda sendiri, “Siapa yang benar?”.

Black Panther dan Spiderman

Jika membuat karakter-karakter Avengers, minus Thor dan Hulk, untuk saling bertarung satu sama lain di dalam satu film tak terdengar meyakinkan bagi Anda, bayangkan keraguan yang muncul jika film yang sama ternyata akan digunakan sebagai media untuk memperkenalkan dua karakter superhero baru ke MCU – Black Panther dan Spiderman. Benar sekali, si manusia laba-laba akhirnya menunjukkan batang hidungnya di sini! Pertanyaannya, apakah kedua karakter ini akan berakhir jadi sekedar cameo untuk film solo selanjutnya? Ataukah Russo Brothers memang cukup “cerdas” untuk memastikan keduanya bergerak dalam satu benang merah yang sama dengan sisa tim Avengers yang lain? Untungnya, yang kedua. Black Panther dan Spiderman tampil begitu fantastis di film ini.
Civil War4
Civil War4
Kami pribadi bukanlah penggemar berat komik Marvel dan semua universe yang ia usung, dan tak punya kedekatan sama sekali dengan sosok Black Panther yang cukup asing di telinga dan mata kami. Dan kami yakin, ada banyak penonton MCU yang sama seperti kami, yang mulai merangkai semuanya dari layar lebar. Tapi apakah Black Panther berakhir jadi sebuah karakter yang mampu mencuri hati kami di penampilan perdananya ini? Jawabannya, iya. Black Panther adalah karakter yang luar biasa. Kita tidak sekedar membicarakan soal kostum hitam legamnya yang super keren dengan kemampuan fisik seorang Panther yang bisa berlari cepat, lincah, bertarung ganas, atau cakar Vibraniumnya yang badass. Kita juga membicarakan karakternya sendiri. Kita berhadapan dengan sosok pria yang begitu berbeda dengan sisa tim Avengers sejauh ini dengan kepribadian yang membuatnya pantas disegani. Civil War bisa dibilang jadi pengenalan siapa itu Black Panther, dan sejauh yang kami rasakan, melakukannya dengan sangat baik.
Berita baiknya? Hal yang sama juga terjadi dengan Spiderman. Akhirnya tiba di tangan Marvel, Anda tak perlu takut bahwa Spiderman dan Peter Parker yang baru akan berakhir sekedar cameo yang hanya mengucap satu dua patah kata dan kemudian menghilang begitu saja. Spiderman hadir dengan peran yang penting di Civil War ini dan sejauh ini, terlihat sangat menjanjikan. Ia adalah manusia laba-laba remaja yang berusaha tampil relevan di tengah pertarungan para “raksasa”, lengkap dengan kepribadian fun dan mulutnya yang “ringan”. Apa yang ingin Anda lihat dan harapkan dari seorang Spiderman dieksekusi Marvel dengan begitu baik di Civil War ini. Namun walaupun harus diakui, dibandingkan dengan sisa tim Avengers yang lain, motivasinya untuk ikut tak sekuat dan sekompleks yang lain. But that Aunt May… Hmmm…

Scene Pertarungan Terepik

Civil War5
Kekuatan cerita di Civil War hanyalah salah satu dari alasan untuk jatuh hati dengannya, karena seri ini, menurut kami, juga pantas menyandang predikat sebagai salah satu film superhero dengan scene battle terepik sejauh ini. Anda masih ingat dengan adegan pertarungan Thor dan Ironman di Avengers pertama? Atau ketika Hulk Buster berusaha menahan kemarahan Hulk di Age of Ultron? Atau ketika Falcon melawan Ant-Man di film solo Ant-Man? Sekarang bayangkan sensasi yang sama, Anda kalikan 10 kali lipat dengan semua karakter Avengers terlibat langsung di dalamnya. Terdengar gila? Memang segila itu dan sekeren yang dibayangkan.
Anda yang sempat menonton trailer-trailer Civil War sebelumnya mungkin sempat melihat bagaimana kedua tim berlari dan saling berhadapan di bandara, yang harus diakui terlihat seperti scene setengah jadi yang tak terlihat menggoda sama sekali. Tetapi percayalah, itu adalah awal dari salah satu scene pertarungan superhero terbaik yang pernah Anda dapatkan sejauh ini. Marvel tak menahan diri dan membiarkan semua karakter ini untuk melemparkan baku hantam mereka sebaik mungkin dengan tetap mempertahankan karakteristik mereka. Kerennya lagi? Ini bukanlah pertarungan “terhormat” dengan format 1 vs 1. Banyak karakter superhero ini memperlihatkan senjata rahasia mereka dan alasan mengapa mereka bukanlah pribadi yang mudah ditundukkan saja. Selama 15 menit, pertarungan ini akan membuat Anda tersenyum seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali menonton film superhero.
Civil War6
Civil War7
Karena harus diakui, hampir semua dari kita yang pergi menonton Civil War memang hadir dengan satu ekspektasi yang sama selain sebuah cerita yang solid – sebuah scene pertarungan yang epik antara anggota Avengers. Dan yakinlah, Anda sama sekali tidak akan kecewa dengan apa yang mereka tawarkan. Atau sebaliknya, Anda mungkin akan keluar dari bioskop dengan perasaan yang begitu puas dan mendapatkan sebuah kualitas yang tak pernah Anda dapatkan sebelumnya.
Kerennya lagi? Walaupun pertarungan di bandara ini jadi highlight, dia bukanlah satu-satunya pertarungan memorable yang akan Anda dapatkan. Bahkan bisa disebut bahwa hampir semua scene pertarungan dan aksi di film ini benar-benar memenuhi apa yang Anda harapkan, dari koreografi, fan-service, kamera, hingga ragam efek yang ada. Dari awal film sampai akhir film, kami tak menemukan sedikit pun momen yang membosankan.
Satu-satunya hal yang kurang dari film ini hanyalah musuh utamanya yang benar-benar tak terasa relevan dengan garis cerita yang ada. Setidaknya di seri Avengers sebelumnya, kisah selalu berakhir dengan pertarungan melawan si “Big Bad Wolf” yang biasanya berakhir punya kemampuan lebih baik dan tak sulit untuk mengalahkan Avengers begitu saja. Di Civil War? Ketidakmampuan Marvel untuk meracik karakter antagonis yang menarik semakin terbukti.

Pantaskah Ditonton di Layar Lebar?

Civil War7
Captain America: Civil War berakhir jadi film superhero Marvel terbaik sejauh ini, setidaknya di mata kami. Hampir semua elemen yang Anda harapkan dari nama “Civil War”, terlepas apakah Anda adalah penggemar si seri komik atau tidak, dieksekusi begitu manis di sini. Apa yang Anda suka dari Winter Soldier disempurnakan dengan garis cerita kuat yang mampu memastikan setiap karakter Avengers yang terlibat di dalamnya memang berangkat dari sebuah motivasi yang bisa dipercaya dan dimengerti. Scene pertarungan super epik yang akan membuat Anda tersenyum seperti anak kecil hingga pengenalan dua karakter – Black Panther dan Spider-Man yang juga dieksekusi dengan manis akan membuat Anda puas ketika daftar credits sudah mengemuka di depan mata.
Jadi, pantaskah film ini ditonton di layar lebar? Kami sangat menganjurkan Anda untuk mencicipinya. Tak ada efek yang membuatnya harus ditonton dalam format 3D, namun kami sangat menganjurkan kualitas definisi lebih tinggi seperti IMAX untuk sensasi yang jauh lebih baik. Apakah Anda harus menghindari spoiler di dunia maya untuk mencicipinya? Kami juga menjawab tidak untuk pertanyaan ini. Karena hampir tak ada kunci cerita yang bisa dibagi soal film ini dan berakhir mengacaukan pengalaman menonton Anda. Apapun yang diceritakan oleh orang lain kepada Anda soalnya, Anda tetap akan menikmati visualisasinya sepenuh hati. You gotta watch this movie..
sumber : jagatreview
More aboutReview Film: Captain America – Civil War

Review Deadpool: Hero Yang Tak Layak Jadi Panutan

Diposting oleh Unknown

Review Deadpool: Hero Yang Tak Layak Jadi Panutan

poster
Tahun ini mungkin jadi tahun yang cukup menarik di dunia perfilman, karena pada bulan Februari ini ada sebuah film yang sangat ditunggu-tunggu. Bukan film  drama romansa yang sengaja dipersiapkan untuk moment valentine seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi tahun ini ada satu karakter superhero (anti-hero lebih tepatnya) dari Marvel yang menghentak layar lebar untuk pertama kalinya, yaitu Deadpool.
Sebelum mengulas keseluruhan film, saya ingin menggambarkan terlebih dahulu kondisi kacamata saya sebagai seorang penonton yang menyaksikan film superhero konyol yang satu ini. Saya datang sebagai penonton yang tak tahu banyak soal Deadpool, kecuali sebatas seorang karakter Marvel yang berkostum merah dan bernama asli Wade Wilson. Mungkin sebagian dari anda yang menyaksikan film ini sudah tahu banyak tentang karakter Deadpool bahkan seluruh kaitannya dengan Marvel Universe.
deadpool
Ya, tentu saja Deadpool membawa semua aspek yang sudah diantispasi sebelum peluncuran filmnya. Dark humor sense, kata-kata vulgar sepanjang film, hingga analogi-analogi tak masuk akal, semua sudah jadi satu paket yang wajib yang bahkan memang telah ditunggu oleh para penontonnya. Tak heran jika film ini di beri rating dewasa. Bahkan bagi anda yang masih mengira film bertema superhero selalu bisa ditonton oleh semua umur, but not for this movie. Deadpool benar-benar film DEWASA !
Mari Mengenal Deadpool
Deadpool sebelumnya pernah tampil sebagai karakter pembantu, mungkin bagi anda  yang pernah menyaksikan X-Men Origin Wolverine sudah tak begitu asing dengan superhero berbalut kostum merah ini. Namun tentu tak banyak yang bisa digali mengenai karakter Deadpool sesungguhnya. Maka untuk film solo perdananya pengenalan karakter Deadpool tentu harus lebih dalam. Siapakah Wade Wilson, dari mana ia berasal, apa motivasinya menjadi pria misterius dibalik topeng merah, semuanya dibahas cukup lengkap dalam film ini. Bisa dibilang untuk cerita film pertama Deadpool ini tidak akan menyuguhkan berbagai macam plot twist, melainkan sebagai pengenalan si Deadpool alias Wade Wilson.  Jadi anda pula tak perlu khawatir, jika tak begitu mengerti jalan cerita hanya karena tidak tahu banyak soal Deadpool dari cerita komik, ataupun kaitannya dengan Marvel Universe
6
Tapi yang mungkin agak sukar dimengerti justru bukan dari jalan cerita yang dihadirkan. Melainkan celetukan jokes yang keluar dari mulut si Wade Wilson. Karena tak jarang ia menyebutkan hal-hal aneh, yang mungkin hanya akan anda mengerti jika anda juga memiliki banyak referensi film. Tak jarang Wade membahas sesuatu yang berkaitan dengan aktor atau film lain, layaknya behind the scene sebuah film. Atau istilahnya Break the 4th Wall, ketika sang karakter memahami bahwa dirinya hanyalah sebuah tokoh yang hidup di sebuah kisah komik atau adegan film.
3
Lalu sekeras dan sekasar apa adegan action yang dihadirkan di film ini ? Mungkin untuk sekedar penggambaran, secara aksi  film ini bisa disandingkan dengan film Kick Ass namun dengan level yang sedikit lebih tinggi. Banyak adegan baku hantam dan baku tembak yang penuh simbah darah, tapi tak sampai level Gory, yang memaksa anda menutup mata atau mulut karena terlalu ngeri. Well, Deadpool memang bukan superhero yang  baik, mungkin juga jahat, tapi ia membunuh orang-orang yang lebih jahat.
Tak melulu soal comedy vulgar dan kekerasan, Deadpool juga punya unsur lain yaitu drama romansa. Mungkin tak seheboh kisah cinta para vampir di film Twilight, tapi romansa antara Wade Wilson dan Vanessa tetap jadi unsur penting yang menambah film semakin kompleks. Tampaknya soal asmara menjadi satu kelemahan yang tidak pernah luput dari semua karatkter hero. Untungnya kisah asmara yang digambarkan juga tidak begitu melankolis, yang terkadang justru membuat nilai minus pada film.
5
Maksimal dari Ryan Reynolds
Tidak banyak komentar untuk Ryan Reynolds sebagai pemeran Deadpool. Kelihatanya sang aktor memang sudah sangat senang mendapatkan kesempatan untuk memerankan karakter yang ia mainkan kali ini. Sehingga semua penjiwaan untuk karakter Deadpool cukup melekat dan terasa maksimal. Untuk menjadi hero pembunuh yang cukup gila, pastinya berbeda dengan hero sopan Green Lantern yang dulu pernah ia mainkan. Tapi Reynolds sendiri pernah memainkan karakter yang juga tak kalah gila di film The Voices, dimana ia berperan sebagai psikopat berwajah polos bernama Jerry.
4
Sementara yang juga cukup menarik disoroti justru adalah kolaborasi Deadpool dengan karakter  X-Men, Colossus dan juga Negasonic Teenage Warhead. Deadpool yang penuh kesan jenaka, dipadukan dengan dua karakter X-Men yang penuh kesan serius, menjadikan kolaborasi adegan yang aneh dan anti mainstream. Sementara untuk rival utama Deadpool di film ini sendiri memang belum terlihat begitu powerfull. Namun Francis, ilmuan yang mengubah Wade Wilson ini punya banyak pasukan yang tentu merepotkan untuk ditaklukan.
Dan Morena Baccarin yang memerankan Vanessa, kekasih Wade, she’s a very hot girl. Tak salah pilih jika ia jadi pemeran pendamping Ryan Reynolds untuk film ini. Kesan penuh sensualitas namun terlihat begitu natural membuat pandangan mata sulit untuk beralih.
colossus-deadpool-movie-image
colossus-deadpool-movie-image
Selain itu, ada pula karakterpembantu  lain yang tak kalah kocak. Mulai dari supir taksi yang selalu mengantar Deadpool, hingga nenek buta yang tinggal bersama Deadpool.
Di bagian ending  seperti yang sudah diwanti-wanti sebelumnya, akan ada post credit yang rugi jika sampai anda lewatkan. Pastikan anda jangan pulang dahulu sebelum menyaksikan dua post-credit scene di bagian akhir film. Karena dibagian akhir tersebut, Deadpool juga sedikit memberi bocoran untuk sekuel film berikutnya. Deadpool mulai tayang di tanah air 10 Februari 2015.
sumber : jagatreview
More aboutReview Deadpool: Hero Yang Tak Layak Jadi Panutan

Review Lights Out: Tetap Dalam Cahaya !

Diposting oleh Unknown

Review Lights Out: Tetap Dalam Cahaya !

Beberapa film horor akhir-akhir ini di dominasi oleh karya-karya James Wan, mulai dari Insidious, Conjuring, hingga Annabelle. Sebagai sutradara maupun produser, film-film yang punya campur tangan James Wan selalu sukses mendebarkan jantung penonton.
Dan satu lagi film horror terbaru yang diproduseri oleh James Wan, yaitu Lights Out. Lights Out dikembangkan menjadi film layar lebar dari sebuah film pendek berdurasi kurang dari 3 menit, karya sutradara David F Sandberg. Membuat jantung copot dengan lampu yang bolak-balik nyala dan mati, walau hanya dengan hitungan menit, Sanberg kini menyajikannya dalam waktu yang lebih lama yaitu dengan durasi 81 menit.
Tapi pastinya Sandberg telah menyiapkan lebih dari sekedar hal mengagetkan dengan hantu yang muncul dalam dalam. Lights Out telah dikembangkan dengan cerita yang lebih kompleks, punya latar belakang yang bikin penasaran serta konflik dan ending yang tak terduga. Seperti yang telah disaksikan pada trailer sebelumnya, adegan dibuka dengan seorang wanita yang melihat sesosok bayangan saat ia mematikan lampu di dalam gudang. Berulang kali ia menyalakan dan mematikan lampu karena penasaran dengan sosok misterius tersebut.
lights_out
Adegan pembuka entah mengapa menjadi tidak begitu meyakinkan dan menurunkan ekspektasi. Karena adegan ini sama persis seperti yang telah disajikan Sanberg di film pendeknya. Sosok hantu dirasa juga terlalu cepat muncul, dengan wujud yang cukup jelas sehingga mengurangi rasa penasaran penonton. Apalagi hantu ini langsung menampilkan keganasannya dengan membunuh orang.
Tapi cerita kemudian dikembangkan kembali dengan adegan baru. Seorang anak kecil bernama Martin (Gabriel Bate) memiliki masalah dengan ibunya, yang dianggap punya masalah kejiwaan. Martin sering kali tertidur di sekolahnya lantaran setiap malam ia tidak bisa tidur. Ada sosok menyeramkan  yang selalu berbicara dengan ibunya.
Lights-Out-3
Pengalihan konflik dari rasa penasaran penonton akan sosok hantu, kemudian berubah menjadi rasa penasaran penonton tentang latar belakang sang ibu yang diangap gila. Bukan cuma itu saja, Martin rupanya punya saudara tiri perempuan bernama Rebecca (Teresa Palmer )yang minggat dari rumah karena berselisih dengan sang ibu. Dan alasannya pun sama dengan masalah yang dihadapi martin. Ada sosok yang selalu berbincang dengan sang ibu. Dua bersaudara ini akhirnya mencari tahu lebih lanjut, dibantu pacar Rebecca, Bret.
lights-out
Kisahnya sebenarnya simple dan begitu tipikal dengan horror kebanyakan. Tapi baik script writer dan sutradara tetap mampu membuatnya menjadi sulit ditebak. Terlebih karena adegan horrornya benar-benar membuat penonton enggan banyak berpikir. Yang ada malah menghitung-hitung untuk bersiap kapan si wujud menyeramkan itu muncul. Dengan dua tokoh utama Martin dan Rebecca yang tampak serius dan sangat mendalami ekspresi ketakutan, Bret justru sebaliknya, jadi favorit penonton karena gayanya yang lebih santai, kadang kali juga konyol.
Dialog antar pemain terdengar simple dan pendek-pendek. Beragam hal lebih banyak dijelaskan secara deskriptif dan naratif, termasuk dari mana hantu itu berasal. Aksi kejar mengejar di lorong-lorong rumah yang gelap tanpa cahaya membuat para penonton terus menghela nafas panjang.
Lights-Out-4
Setting tempat di rumah besar yang gelap juga menjadi aspek yang sangat mendukung. Meskipun sebenarnya rumah tersebut juga menggunakan gaya arsitek yang sudah modern tapi itu saja sudah sangat menyeramkan. Permainan audio lewat backsound yang terdengar seram dan mengagetkan benar-benar menteror penonton. Apalagi saat hantu muncul, anda pasti sudah siap-siap menutup mata untuk menghadapi semua kejutan yang datang.
Satu lagi, ending dari film ini cukup memuaskan. Semua pertanyaan dari awal semuanya  terjawab, serta memberikan konklusi yang jelas.
Lights Out mulai tayang bioskop tanah air mulai 13 Agustus 2016. Siapkan jantung anda sebelum menyaksikan film yang satu ini.
Tanggal Rilis: 13 Agustus 2016
Durasi: 81 Menit
Genre: Horror, Thriller
Sutradara: David F Sandberg
Pemain: Teresa Palmer, Gabriel Bateman, Alexander DiPersia, Maria Bello
Studio: Columbia Pictures
sumber : jagatreviews
More aboutReview Lights Out: Tetap Dalam Cahaya !

Review Film Suicide Squad – Cerita yang Dangkal dari Film Cepat Saji

Diposting oleh Unknown

Review Film Suicide Squad – Cerita yang Dangkal dari Film Cepat Saji

Review Film Suicide Squad
Saya buka artikel ini dengan sebuah pernyataan bahwa Suicide Squad adalah film superhero yang paling saya tunggu di tahun 2016. Bukan Batman v Superman: Dawn of Justice, Captain America: Civil War, Rogue One: A Star Wars Story, atau bahkan Doctor Strange. Apa yang tertulis di dalam artikel ini adalah ulasan dari seseorang yang sudah berharap tinggi dengan konsep dan juga janji-janji manis sebelum film Suicide Squad ditayangkan.
But sorry to say, you disappoint me, Suicide Squad.

Suicide Squad = Menu Fast Food

Suicide Squad selalu punya cara dalam meningkatkan hasrat para calon penontonnya untuk tetap teguh menyaksikan film ini di bioskop. Penampilan Joker yang eksentrik di trailer perdananya, serta lagu Bohemian Rhapsody yang padu dengan editing-nya jadi salah satu faktor marketing yang bisa dibilang sukses di media sosial. Data pun menyebutkan bahwa sejak Maret hingga Mei 2016, film ini berhasil menguasai perbicangan di Twitter dan mengalahkan Finding Dory serta Ghostbusters. Sebuah bukti sederhana bahwa film ini perkasa dari segi pemasaran, khususnya dalam hal mencuri atensi. Tapi apa lacur, Suicide Squad tak ubahnya menu restoran fast food yang hanya tampak nikmat dalam poster, namun justru mengecewakan saat dihidangkan.
Sama seperti formula film pada umumnya, Suicide Squad dimulai dengan pengenalan para anggota yang akan dikumpulkan dalam Task Force X atau yang disebut juga Suicide Squad. Bagian ini dikemas dengan pace yang begitu cepat dan back story yang tak bertele-tele. Setting kisah pun mengambil waktu pasca film Batman v Superman: Dawn of Justice, yang sudah diperlihatkan dalam beberapa trailer film ini.
Setelah memasuki tahap pengenalan, sesuatu yang mengganjal di film Suicide Squad perlahan mulai terasa. Meskipun harus diakui ada masalah lainnya, namun inilah yang paling menggangu, yaitu kedangkalan latar belakang konflik yang jadi dasar cerita. Ibarat sebuah badan, film ini memiliki penyakit serius di jantungnya, yang tak terlihat secara kasat mata namun berpengaruh pada organ lainnya. Ya, cerita dalam film ini amat klise dan sayangnya tak ada sangkut pautnya dengan kisah di film Batman v Superman. Mengecewakan, karena kisah dari film Batman v Superman sejatinya meninggalkan banyak pertanyaan penting dan bibit masalah yang bisa saja digali lebih dalam.
Pengembangan konflik dan inti permasalahan yang terlalu dangkal ini sebenarnya bisa diobati dengan penampilan karakter yang kuat. Namun sayang hanya Deadshot, Rick Flag, Captain Boomerang dan Harley Quinn saja yang mampu mencuri perhatian, sisanya hadir dengan porsi seadanya dan tak menggairahkan. Ada dua anggota Suicide Squad yang tak begitu penting, atau bahkan bisa hapus dari dalam cerita film ini. Maaf, saya tak bisa menyebutkan siapa mereka.

Penampilan Joker dan Harley Quinn

Sayang sungguh sayang, Jared Leto yang dijadikan umpan dalam memancing penonton justru tak diberi porsi besar dalam film ini. Padahal ia hadir dengan feel Joker yang berbeda. Lebih metroseksual, melankolis, dan kejam. Namun karena sorotan untuk karakter Joker terbatas, kemampuan Jared Leto yang pernah menggondol piala Oscar ini tak tercurah dengan maksimal. Bahkan, ada beberapa scene dalam trailer Suicide Squad yang tak ditampilkan dalam film ini. Entah apa alasannya, namun minimnya durasi penampilan Joker justru mengurangi keseruan Suicide Squad. Beruntung, Harley Quinn sukses mencuri perhatian sebagai subtitusi Joker meskipun keunikan karakternya tak sepadan.
Baik Jared Leto (Joker) dan Margot Robbie (Harley Quinn), keduanya berhasil tampil memukau dan menjalin chemistry yang kuat. Sebuah penggambaran unik kisah cinta pasangan kriminal gila yang awam untuk ditemui dalam film superhero lainnya. Chemistry yang dibangun kedua karakter ini terjalin sangat kuat, terlebih setelah Dr Harleen Quinzel berubah menjadi sosok Harley Quinn.
Di lain sisi, banyak pihak yang meragukan kualitas Jared Leto saat ia dipilih sebagai pemeran Joker di film ini. Seakan berusaha lepas dari bayang-bayang Joker a la Heath Ledger, Leto ternyata berhasil menampilkan Joker versinya sendiri dengan suara khas dan gestur anehnya yang tampak jelas dalam film ini. Mengingat minimnya porsi sang Joker, tentu belum pantas untuk membandingkan Leto dengan Ledger hanya dengan Suicide Squad. Jika Joker (Jared Leto) ditampilkan lagi dalam film solo Batman nantinya, mungkin ia akan memiliki porsi dan juga pengembangan karakter yang lebih dalam. Di sanalah, sepertinya lebih bijak untuk membandingkan kedua aktor ini sebagai pemeran Joker.
Bukan Will Smith atau Jared Leto, namun Margot Robbie adalah yang terbaik dalam film ini. Mudah untuk mencintai karakter Quinn dan juga kagum atas akting Margot Robbie. Kata “Puddin” yang terucap dari Harley Quinn terdengar begitu pas, apalagi dilengkapi dengan akting berkualitas Margot Robbie. She’s simply the most powerful character in this film.

Kebingungan David Ayer

David Ayer yang jadi penulis dan juga sutradara Suicide Squad nampaknya harus lebih banyak belajar lagi dalam mengemas film superhero. Overall, penyutradaraan Ayer cukup impresif, ia berani menghadirkan film aksi dengan lebih dari 50% musik sebagai latar belakang suara di tiap scene-nya. Sayangnya, ia terganjal dengan naskah dan cerita dangkal yang ia buat sendiri. Motivasi dan tujuan cerita yang tidak jelas secara tak langsung menutupi kekuatan storytelling yang unik a la David Ayer. Plot nya pun begitu lemah, generic superhero movie.
Entah ini perintah dari pihak studio atau tidak, dalam film ini terdapat banyak adegan humor yang langka untuk ditemukan dalam film DC lainnya. Mungkin ini adalah respon atas kritik film Batman v Superman yang dianggap terlalu dark. Untungnya Ayer memberi porsi yang pas untuk humorous side tiap karakternya. Tak ada yang berlebihan dan tak ada yang kurang, namun usaha dalam meraih hati penonton dan para kritikus ini terlalu blak-blakan diperlihatkan oleh DC.
Film ini dipaksa untuk tetap terlihat seru dan juga “keren” meskipun ceritanya tak memiliki tujuan yang jelas. Menurut saya, jika Suicide Squad jadi bagian utama dari timeline kisah DCEU, maka film ini tak penting untuk dibuat. Mengapa? Karena DCEU akan tetap berjalan dengan kisah dari film lainnya. Tak ada benang merah atau gagasan penting dalam film ini yang menyangkut kisah DCEU. Ending dalam film ini pun seperti dibuat-buat untuk bisa menyambung ke kisah yang baru. Padahal semua masih bisa diperlihatkan dalam film solo Batman, The Flash, Justice League, atau bahkan Wonder Woman. Satu hal yang pasti, pihak studio terlalu berusaha memperbaiki kesalahan dari film Batman v Superman, yang justru membuat Ayer dan Suicide Squad kehilangan arah. Masih ingat rumor bahwa film Suicide Squad melakukan reshoot di bulan April lalu?
Di balik kekurangan, masih ada poin positif yang bisa dipetik dalam film ini. Fun dan juga sajian action yang bertubi-tubi membuat film ini terasa begitu cepat dan mengalir. Dilantunkan dengan penuh distorsi, musik yang hadir dalam film ini juga memperkuat nuansa bad guys para karakternya. Bisa dibilang Ayer memiliki sense yang baik dalam menempatkan musik dalam film ini. Selain selera musik, keunikan Ayer juga datang dari gaya visual effect yang ia hadirkan. Seperti menonton game dalam bioskop, Ayer memperlihatkan banyak warna cerah dan grafis memukau yang senada dengan tone film ini. CGI-nya pun tampak rapi, meskipun ada beberapa bagian yang terasa kurang dipoles.
Jika menganggap bahwa Batman v Superman kekurangan unsur humor, maka Suicide Squad berhasil menambal kesalahan ini. Namun sayangnya, Suicide Squad menciptakan kesalahan baru lagi yaitu kedangkalan cerita dan produksi yang (kabarnya) berantakan. Ekspektasi Anda yang begitu tinggi harus dikubur dalam-dalam karena overall film ini biasa saja dan tak meninggalkan kesan yang berlebih. Bahkan, Batman v Superman yang notabene dianggap begitu kacau masih punya banyak scene yang memukau dan memorable.
Apakah film ini akan memiliki versi Director’s cut yang lebih baik? Mungkin saja, karena dalam sebuah tweet-nya, Ayer pernah memperlihatkan timeline editing film Suicide Squad. Di situ, terlihat bahwa Suicide Squad memiliki durasi lebih dari 2,5 jam. Selisih yang lumayan jauh dari versi theatricalnya yang hanya berkisar 2 jam. Semoga saja versi Director’s cut tersebut bisa memberikan nilai positif guna memperbaiki cerita dalam film ini.
Beban berat kini dipikul oleh film Wonder Woman dan juga Justice League yang akan segera tayang tahun depan. Batman v Superman dan Suicide Squad sudah menunjukkan beberapa kesalahan yang haram untuk diulangi jika DC ingin superior di kancah perfilman superhero. Pihak studio harus mengevaluasi banyak hal sebelum membuat kesalahan fatal di film-film selanjutnya. Pemilihan sutradara dan kemantapan naskah jadi dua momok yang menghantui DC selama ini. Percayalah, sebagai penonton kami rela menunggu lebih lama agar mendapatkan film yang berkualitas, bukan sekedar promosi menarik layaknya film cepat saji yang tak bergizi.
sumber : cinemags
More aboutReview Film Suicide Squad – Cerita yang Dangkal dari Film Cepat Saji

Review Don’t Breathe: Thriller Mencekam dengan Tema Unik dan Minim Budget

Diposting oleh Unknown

Review Don’t Breathe: Thriller Mencekam dengan  Tema Unik dan Minim Budget


dont-breathe-poster
Tiga orang pencuri masuk ke rumah orang buta, mungkin tema yang cukup menarik disimak. Dari trailer yang disajikan,ide cerita dari film ini memang cukup menarik disimak. Berbeda dengan kebanyakan film thriller bertema perampokan lainnya, Dont Breathe justru menghadirkan rasa mencekam dimana perampok yang diterror oleh sang pemilik rumah. Bukan pemilik rumah biasa, melainkan orang buta dengan kemampuan bertarung yang tinggi.
Dont Breathe 1
Pengenalan karakter yang dalam film terbilang sangat singkat.  Tiga orang anggota kompoltan pencuri yang diantaranya adalah Money(Daniel Zovato), Rocky (Jean Levy) dan Alex (Dylan Minnette) sebenarnya bukanlah kelompok pencuri kelas atas, karena dari cara mereka beroperasi di rumah-rumah target terbilang masih amatir. Sedikit pengenalan karakter yang lebih detail ada pada Rocky, seorang gadis yang tinggal bersama ibu dan adiknya. Namun hubungan keluarganya tidak harmonis, karena sang ayah pergi meninggalkan mereka. Sementara Alex adalah anak dari seorang teknisi sistem keamanan rumah, yang justru memanfaatkan posisi tersebut untuk membobol rumah-rumah para client sang ayah.
Dont Breathe 2
Kemudian tujuan dari kelompok ini juga cukup jelas. Mereka mengincar uang ratusan ribu dollar dari si buta pemilik rumah, yang merupakan pencairan dana asuransi setelah puterinya meninggal akibat kecelakaan. Tapi setelah mereka berada di dalam rumah, rupanya ada hal yang terduga yang mereka temui. Hal rahasia yang lebih penting dari sekedar uang, mengungkap siapa jati diri dari si buta tersebut. Alur cerita yang sama sekali diluar prediksi ini semakin menambah ketegangan saat menyaksikan film tersebut. Yang akhirnya juga mengubah perspektif penonton, siapakah ‘penjahat’ yang sesungguhnya. Apakah komplotan maling atau si tuan rumah ?
Stephen Lang stars in Screen Gems' horror-thriller DON'T BREATHE.
Action yang ditawarkan juga cukup seru, meskipun tidak menghadirkan koreo martial arts yang memukau. Pistol di tangan si buta menjadi ancaman serius bagi para pencuri yang telah terjebak.  Karena tak hanya sekedar bertarung, mereka harus mengatur strategi agar selamat dari ancaman di rumah tersebut. Uniknya film ini tidak perlu mengandalakan beragam efek CGI atau background sound yang mengagetkan.
Dont Breathe 5
Pertarungan di ruang gelap, dengan ancaman pistol yang bisa menembus tubuh kapan saja benar-benar membuat penonton terush menghela nafas panjang. Ekspresi yang dihadirkan para pemain sangat meyakinkan dengan kesan penuh ketakutan. Terutama untuk pemeran wanita, Jean Levy yang menjadi tokoh paling dominan. Ekspresi ketakutannya seolah dapat dirasakan oleh penonton yang duduk di depan layar lebar.
Dont Breathe 4
Setting lokasi untuk film yang satu ini memang hanya berkutat di dalam rumah. Tapi nyatanya berhasil membuat penonton tegang dan ketakutan sepanjang film. Dengan set up tempat yang kecil, tentunya tidak membutuhkan budget besar untuk penggarapan film. Namun ‘Dont Breate’ tetap berhasil menawarkan suguhan yang maksimal. Bahkan di minggu perdananya, Dont Breathe telah sukses merebut posisi puncak Box Office. Untuk film thriler di tahun 2016, ini menjadi rekomendasi film thriler kedua saya secara pribadi setelah film The Shallows.

Tanggal rilis: 28 Agustus 2016 (Midnight) /1 September 2016 (Regular)
Durasi: 88 Menit
Genre: Thriller
Sutradara: Fede Alvarez
Pemain: Jean Levy, Stephen Lang, Dylan Minnette, Daniel Zovato, Jane Graves
Studio: Studio 6, Screen Gems
More aboutReview Don’t Breathe: Thriller Mencekam dengan Tema Unik dan Minim Budget